Chapter 8. Ketika hidupmu sulit tapi ulangan kimia lebih sulit

12 1 0
                                    


8

Aku bangun tapi aku tak bisa membuka mata. Untuk beberapa saat aku diam tak bergerak. Mencoba menenangkan diri dengan menarik nafas perlahan dan kemudian mengeluarkannya dengan lebih perlahan. Seiring dengan banyaknya oksigen yang tersuplai dengan baik ke otak, kesadaranku terkumpul meski banyak hal lain yang juga muncul.

Seperti, aku yang tiba-tiba terlibat cerita lintas dunia.

Tak cukup punya masalah didunia nyata, aku terjerumus dalam dunia hantu. Hantu? Entahlah, aku tak tahu bagaimana aku harus menggolongkannya. Terdengar sangat tak masuk akal dan semakin kupikirkan kepalaku berdenyut sakit.

Batal bangun, aku merapatkan mata dan menarik selimut menutupi kepalaku. Meringkuk seperti bola dan kuharap aku bisa lebih kecil dari ini lagi. Meski begitu, aku bisa merasakan injakan pelan kaki-kaki kecil di ujung tempat tidur. Semakin mendekat sampai akhirnya masuk kedalam selimut.

Pipiku dingin. Disentuh oleh sesuatu yang dingin. Diikuti suara meongan pelan.

Dengan satu gerakan cepat, aku menangkap leher si kucing dan melemparnya keluar selimut. Setelah suara meongan kaget, berubah menjadi suara shock seorang laki-laki. Dia memarahiku karena lagi-lagi mencoba melempar hewan.

Aku mengabaikannya dan memaksa diriku kembali tidur.

Silih berganti orang-orang memasuki kamarku. Dari yang mengajakku bangun, mengantarkan makanan. Tapi keras kepalaku mungkin sampai ditahap yang paling tinggi dan akupun salut dengan kemampuanku sendiri.

Entah kapan, saat aku membuka mata, aku mendapati tiang infuse disamping kanan ranjang. Menjelaskan kenapa aku punya tenaga untuk bangun sepertinya.

Dan aku bertatap-tatapan dengan Alex.

"argh. Kenapa mesti elo." Rengekku. Sambil kembali memasukan kepalaku kedalam selimut.

"ckckck sebegitu shocknya elo dengar rencana dijodohin sampe mogok makan. Mati gimana Kay?"

"tinggal dikubur." Masa itu saja dia tak tahu. "kemana yang lain?"

"mama papa kerja. Anko ya sekolah. Gue bolos kuliah ini demi jagain elo."

Dia terlihat sangat bahagia untuk sok merasa kesal. Jelas belum mandi dan belum tidur sejak semalam. Bukan karena menjagaku karena online gamenya. Aku terikat infuse dan dia terikat charger. Dia hampir punya fungsi yang sama dengan benda daripada manusia dalam keadaan seperti ini.

"noh makan. Baru kok itu makanannya. Belum dingin-dingin amat." Kemudian tangannya mengapai-gapai tanpa mengalihkan pandangan dari hapenya. "kening lo mana?"

Aku menempelkan keningku ke telapak tangannya.

"tuh udah sehat. Gak panas lagi. lo makan, abis itu minum obat. Tidur lagi. boleh bangun kalau infusnya udah abis." Dia mengacak rambutku sebelum kemudian menarik tangannya dengan cepat. Rambutku lepek kerena demam yang turun sepertinya. "argh. Lengket. Keramas jangan lupa. Lo bau."

Kemudian dia bangun. "gue dikamar. Kalo ada apa-apa teriak aja."

Dan selesai. Dia kembali kekamarnya tanpa menengokku.

Menarik badan, aku duduk. Bersandar di kepala ranjang dan berhadap-hadapan dengan Cristopher yang anggun duduk diatas meja diseberang. Kami bertatap-tatapan. Sesaat aku ingat betapa ngototnya aku ingin memelihara makhluk ini dan disisi lain aku ternyata ngotot menjemput takdir menjadi tumbal Gilang.

Kucing itu berkedip. Tapi aku diam saja. Lalu dalam satu kedipan dia berubah menjadi Gilang. Mau tak mau ini pasti akan berhasil menarik perhatianku. Aku menatapnya dan air mataku mengalir dengan sendirinya tanpa ku sadari. Dia kaget dan buru-buru mendekatiku.

Duduk di pinggir tempat tidur dan mengangsurkan tisyu.

"gue penasaran kedepannya bakal gimana." Ucapnya tanpa sadar. Dia hanya membuat air mataku makin menetes. Aku tak tahu apa dia memikirkan ini dari sisiku atau sisi Gilang tapi aku Cuma berpikir kalau aku baru saja divonis penyakit mematikan dan umurku Cuma sampai ulang tahun Gilang. Aku bahkan tidak tahu tanggal berapa Gilang ulang tahun.

Aku tak pernah tahu kalau aku bisa menangis sebanyak ini biarpun punya abang seperti Alex dan aku sudah dibully sejak aku bernafas.

Dengan memalukan, aku makan sambil menangis dan kemudian kembali tertidur.

***

Setelah 3 hari, aku akhirnya kembali ke sekolah.

Ya, aku menghabiskan hampir 3 hari Cuma berkutat disekeliling kamar. Mama kehabisan bahan untuk mengancamku untuk berangkat sekolah. Setiap dia muncul kekamar aku hanya kembali menangis. Papa mengajakku nonton drakor bersama. Memilih drama yang katanya paling trendy tapi aku menangis disaat ceritanya sedang lucu-lucunya.

"hmmm lo tahu lo kelihatan norak banget pake kacamata hitam kan Kay?" Anko orang pertama yang menyapaku pagi ini.

"lo tahu kan kalau mata gue sebesar bola pingpong sekarang?" aku terlihat seperti kodok dan ulangan Kimia memaksaku ke sekolah. Aku khawatir tak akan lulus ujian kalau harus ujian sendirian di ruang guru. Aku perlu Lila untuk bisa menjawab.

"lo juga kurusan." Tambah Alex dan ini, satu-satunya hal yang tak bisa kusembunyikan kalau aku menyukainya. "ternyata nangis tiga hari bikin kurus."

Alex sialan.

Kemudian mama dan papa yang bergabung, menghentikan obrolan tak penting Anko Alex. Yang tak kusangka adalah pengumuman penting yang disampaikan papa selanjutnya. Kalau mereka akan mengikuti pelatihan di hongkong selama 1 bulan.

Yang lebih mengagetkan, kami semua akan dititipkan di rumah Gilang.

Yang lebih lebih mengagetkan adalah aku yang tersedak dan hampir mati. Kemudian berteriak sekencang mungkin kalau mereka boleh membunuhku saja dari pada aku tinggal satu rumah dengan Gilang.

Mereka baru saja menghancurkan semua hal positif yang kubangun pagi ini dalam rangka untuk pertama kalinya keluar kamar dan menjadi manusia.

"kan kamunya belum pasti jodoh juga sama Gilang Kay. Mama bingung apa yang bikin kamu histeris. Kalau gak mau ya gak usah."

Aku menatap mama dari balik kacamata.

"itu Cuma obrolan dulu. Duluuu banget. kalau kalian ternyata gak cocok, gak ada yang maksa nak."

"iya kan? Kayak Gilang bakal mau juga. Makanya aku gak ngerti kenapa dia sampai mogok hidup 3 hari." Tambah Anko. Dia menambahkan dengan nada yang tak berusaha disamarkan tentang aku yang bahkan tak punya kehidupan untuk sekedar dihentikan.

Lalu, dengan dramatis, airmataku meleleh dan aku mengunyah rotiku sambil sesegukan. Semua orang mencemoohku dan aku bahkan tak bisa membela diri.

Mereka tak tahu. mereka tak tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi padaku kan. Aku mungkin akan berakhir jadi gila dan mereka tak tahu itu. Ini membuatku makin merana berkali-kali lipat dari pada meratapi takdir harus membuat gilang menyukaiku.

Tak menjelasan apapun, aku berdiri sambil memungut sebutir apel serta tas.

"gak bareng gue?"

"gue yang dramatis dan gak punya kehidupan ini, berangket bareng Lila." Jawabku dengan suara parau dan kembali menagis sambil berjalan ke depan. Menyusul bunyi klakson mobil tak sabaryang ditekan Lila dari depan gerbang.

Demi ulangan kimia. Aku harus berangkat hari ini.

***

Another EngagementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang