3. Dear Kak Jimin

Start from the beginning
                                    

"Iya,"jawabku sedih,"potoin dong. Mau nge-feeds."

Aku mengeluarkan ponselku kemudian memberikannya pada Soobin. Aku berpose banyak gaya dengan danau sebagai latar belakangnya sampai bosan. Tapi Soobin sedikit pun tidak mengeluh. Uh, kalian butuh teman seperti Soobin begini!

"Mau gantian ga? Sini gue potoin."

"Ga ah. Nanti lu cetak trus lu pajang lagi poto gua di kamar."

Aku memutar bola mataku jengah yang dihadiahi sebuah suara tawa darinya. Soobin mengembalikan ponselku untuk membiarkanku melihat hasil jepretannya. Seluruh hasilnya sangat bagus!

Sebagai anak milenial, kalau tidak update saat sedang berpergian atau menemukan tempat baru itu seperti ada rasa yang kurang. Aku mengabadikan wajahku berlatar pemandangan indah di sekelilingku melalui video untuk aku unggah pada story instagramku. Soobin yang sedang menendangi krikil pun turut terekam sedikit secara tidak sengaja.

Setelah selesai, aku segera mematikan ponselku karena kak Jimin mulai meneleponiku.

"Mau naik perahu ga?"

Perahu? Aku tidak melihatnya sejak dari tadi. Aku mengedarkan pandanganku dan mendapati benda itu pada pinggir danau sedikit jauh di sana dengan posisi terbalik. Sayang sekali tidak terurus. Atau sengaja kah?

Aku jadi teringat dengan lagu Maudy Ayunda.

"Ih kaya Rachel Farel kita kalo naik perahu."kataku.

"Jangan, dong. Jangan kaya mereka."

"Kenapa?"

"Sad ending."

"Ya Farel sih tolol. Udah jelas ada Rachel, cewek cantik keturunan Jepang yang sehat walafiat, dia malah milih cewek penyakitan."

Soobin terkekeh kemudian tersenyum miris. Meskipun begitu rautnya yang sendu tertampak jelas, seperti sangat meratapi perpisahan Rachel dan Farel, seperti perpisahan mereka akan merusak perekonomian negara. Cuma sinetron seharusnya tidak perlu serius begitu.

"Makanya jangan mau kaya mereka."

Aku menghela nafasku kemudian mendudukkan diri di situ, pun Soobin. Aku seperti menolak secara tersirat ajakannya untuk menaiki perahu. Aku takut tenggelam karena aku tidak bisa berenang. Kalau aku mati, kak Jimin akan merasa bahagia.

Soobin kembali mengenakan earphone-nya, memejamkan mata, dan merebahkan diri. Kegiatannya yang satu itu seperti sudah menjadi satu paket. Aku heran. Kenapa dia selalu melakukan itu di mana-mana? Soobin sangat cocok hidup di zaman purba yang nomaden yang bisa tidur di mana saja.

Mungkin kalau cangkang untuk manusia telah tercipta, Soobin adalah orang pertama yang akan membelinya agar ketika ia ingin tidur, ia tinggal masuk ke dalamnya.

Aku merebahkan diriku juga, menikmati suasana damai ini. Aku menghirup udara segarnya dalam-dalam, kemudian aku hembuskan pelan-pelan. Aku paling suka suasana seperti ini.

"Bin."

"Hm?"

Aku bilang juga apa. Dia masih bisa mendengar!

"Lo tuh kalo ngomong emang irit gitu, ya? Apa gimana? Kok ke Minju lo banyak ngoceh? Ke gue engga? Aku ngambek nich."

Ia terkekeh lagi.

"Jadi kamu maunya aku gimana?"

Aku tertawa remeh. Apa maksudnya mengubah kata ganti begitu? Padahal aku menyebut diriku 'aku' tadi untuk bercanda. Oh, aku anggap ia bercanda juga.

"Aku maunya kita kaya debat capres cawapres."

Soobin tertawa kencang. Aku selucu itu, kah?

"Yaudah." Soobin bangkit untuk duduk dan menatapku. Aku mau tidak mau mengikutinya. "Sekarang aku tanya, kamu sama Beomgyu biasanya ngapain aja kalo komunikasi?"

Tomorrow | Choi Soobin [REVISED][COMPLETED]On viuen les histories. Descobreix ara