PART 4 TUGAS DARI PAK JAMIL

4.3K 132 0
                                    

“Gue punya nama. Nama gue Lana. Jadi berhenti manggil gue anak baru. Dan kalau loe masih manggil gue dengan sebutan anak baru, gue gak segan-segan manggil loe cewek rese,”

Aku terkejut. Si anak baru bicara serius dari belakangku. Jantungku masih belum bisa berdetak normal. Aku berdiri menghadap ke wajah si anak baru. Berusaha menutupi perasaan gugup dan salah tingkahku. Nyolot.

“Apaan sih loe? Kan emang loe anak baru. Terus salah gue di mana?,”
“Gue emang anak baru. Tapi gue punya nama.”. Kali ini dia menunduk dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Ya Tuhan, jantungku makin enggak karuan kalau begini.
“Apaan sih? Minggir loe.” Kataku menepis wajahnya dan mendorong tubuh si anak baru dengan sok songong.

Aku duduk di kursiku. Mengatur napas dan berusaha memperbaiki detak jantungku yang sudah tak normal sejak tadi. Hey, ayolah. Aku enggak mau salah tingkah kayak gini. Si anak baru juga duduk di kursinya. Dan kemudian….

*Kriiiinggg….krrriiiiiingggg… (bel sekolah berbunyi. Tanda masuk kelas)
“Selamat pagi anak-anak,” Sapa bu Ratmi.
“Pak Jamil mana bu?,” tanyaku dengan sebelumnya mengangkat tangan.
“Pak Jamil enggak masuk. Sakit katanya,” bu Ratmi menjawab. “Tapi pak Jamil titip tugas buat kalian. Katanya tugas kelompok yang sudah dibagi sama pak Jamil sebelumnya. Ketua kelasnya siapa yah?,”
“Saya, Bu,” Azul angkat tangan.
“Sini.” Azul menghampiri bu Ratmi. “Ini..bagikan ke teman-teman kamu,”
“Berhubung ini materinya tentang perkembangan tumbuhan. Nah, jadi tugas kalian dengan partner kalian adalah….mengamati pertumbuhan jagung setiap tiga hari. Jadi setiap tiga hari, kalian harus mengamati pertumbuhan jagung itu……”

Bla…bla..bla.. bu Ratmi menjelaskan tugas kami. Aku enggak fokus dengar bu Ratmi. Masih kepikiran si anak baru. Padahal dia di sebelahku. Ihh… apaan sih aku ini? Keep calm okey. Harus tenang. Stay cool.

“Paham, Sara?,”
“Eh… iya, Bu.”
“Kamu ini ngelamun aja.” Bu Ratmi geleng-geleng kepala. “Okay anak-anak. Tugas ibu sudah selesai. Dan jam pelajaran masih panjang. Kalian boleh ke perpustakaan. Atau kalian di dalam kelas, jangan ribut dan jangan kemana-mana.”
“Iya bu…..” jawab kami serentak sekelas.

Si anak baru sibuk fokus dengan kertas laporan yang diberikan bu Ratmi. Aku bener-bener enggak fokus belajar kali ini. Kulirik si Fuja. Dia asyik main HP sambil senyum-senyum sendiri. Dan kuputuskan untuk pergi ke perpustakaan. Pasti enggak sendiri dong. Sama Fuja.

“Ja.. ke perpus yok,” aku menghampiri kursi Fuja yang ada di sebelah si anak baru.
“Hmm.. lagi males sih gue. Tapi ayo deh. Gue juga bosen di kelas.”
“Ya udah, yuk…”

*Tiba-tiba
“Mau kemana loe?,” si anak baru menarik tanganku
“Eh.. apaan sih loe? Narik-narik tangan gue. Gue mau kemana juga bukan urusan loe kali…” jawabku sewot dan melepas tangan si anak baru.
“Loe lupa kalau kita satu team? Gue enggak mau ngerjain ini sendirian. Dan loe bagian cari bahan. Kebetulan loe mau ke perpus kan? Oke.. bawa nih laporannya…”

Songong banget ini anak. Bener-bener nyebelin. Dia kasih aku laporannya dengan cara yang enggak etis banget. Ditepokin ke jidat aku. Terus dia pergi gitu aja. Ihhhh…. Nyebelin.
Aku dan Fuja jadi terdiam. Kulihat dia jalan keluar kelas. Kuperhatikan lamat-lamat punggung badannya yang mulai mejauh dari kami berdua. Napasku makin enggak teratur. Kali ini bukan karena salah tingkah, tapi karena kesel.

“Awas loe, yah.”
“Udah ah. Ayok ke perpus. Katanya mau ke perpus,” Fuja menarik lenganku menuju perpus.

Dalam perjalanan menuju perpus, aku lihat di anak baru tiduran di bawah pohonpake headphone terus baca buku. Kayak aku banget sih. Tapi karena kau lagi kesel sama itu anak. Sengaja aku kerjain…. Ha..ha..haa…

*Gedebuugggg…. Dia bangun terus duduk.
Jelas aja dia bangun. Aku timpuk pakai kerikil. Dan baaanggg…. Kena tepat di jidatnya.

“Jahat banget sih loe, Ra,”
“Hahaha.. biarin. Biar dia tahu rasa. Kesel gue sama dia. Dia nyebelin banget,”
“Udah ayok ah…,”

*Hari-hari tugas kelompok
Hari ini hari pertama cek biji jagung yang dikasih sama pak Jamil. Iya aku tahu belum ada yang kelihatan kalau masih biji. Jadi hari ini cuma liat kondisi tanah aja. Kasih pupuk dan lihat-lihat. Kali aja ada rumput yang mulai tumbuh. Oh iya, aku bagian cek dan cari bahan. Dan bagian nulis laporan itu kerjaan si anak baru. Jadi aku agak santai deh.
Hari-hari berikutnya jagung mulai tumbuh. Si anak baru serius banget merhatiin jagung-jagung yang mulai kelihatan berdaun dan mulai tinggi. Kalau aku lihat dengan jarak sedekat ini, hmmmm… dia lumayan ganteng kok. Mukanya putih. Dan dia tinggi. Cukup tinggi dan ideal kalau untuk seukuran tinggi cewek kayak aku. Tapi ya itu. Sifat songong, sombong dan sok cool-nya itu yang bikin kesel.

“Ngapain loe lihatin gue?,” katanya datar dan membuyarkan lamunanku tanpa memandang ke arahku.
“Pede banget sih loe… siapa juga yang lihatin loe.,” kataku nyolot.
“Oke kalo gitu. Nih….,” katanya menyerahkan laporan jagung itu kepadaku. Tepat ke bawah wajahku. Terus dia bangkit dan pergi gitu aja. Ishhh… memang deh ini anak nyebelinnya enggak ketulungan.
Dia jalan ninggalin aku di dekat pohon jagung. Sendirian….

“Oh iya. Loe lanjutin laporannya. Tugas gue udah selesai.” Katanya berbalik dan pergi lagi.

Huufffftttt,… aku menghembus napas lewat bibirku dan membuat poniku berkibar ke atas. Banyak-banyak sabar deh, satu team sama ini anak. Aku pergi ke perpustakaan, lanjutin laporan yang bentar lagi selesai dan harus dikumpul besok pagi ke pak Jamil.
*Di perpustakaan
Aku jalan nyari buku yang relevan sama materi laporan kami. Satu per satu, rak buku kudatangi sambil lihat-lihat buku yang ada. Setelah dapat, aku bawa ke atas meja untuk aku catat.
Tiba-tiba….
Brug… aku jatuh. Aduhhh…
Aku jatuh karena kebanyakan bawa buku.
“Loe gak apa-apa?,” ada cowok yang nanya tiba-tiba. Tapi aku enggak kenal.
“Enggak. Gue enggak apa-apa kok,”

Dia bantu aku berdiri sambil mungutin buku-buku yang berserakan.
“Udah..udah enggak apa-apa. Gue bisa beresin sendiri kok,”
“Udah selesai juga. Oh iya. Nama gue Farid,” dia menjulurkan tangannya.
“Sorry, gue buru-buru,” aku tidak menanggapi dia. Aku pergi gitu aja.

Aku duduk di meja pojokan perpustakaan. Kali ini aku sendirian. Karena Fuja ngerjain laporannya bareng temen satu teamnya. Kutulis satu per satu kata yang ada di buku yang sudah kusortir dari rak buku. Kusalin dengan bahasa yang lebih teliti.

“Hay…,” cowok yang tadi tiba-tiba datang dan duduk di sebelah aku.
Aku enggak jawab. Cuma senyum kecut aja. Jutek banget yah aku.
“Tadi gue belom sempet tahu nama loe.”

Aku seperti pura-pura tidak dengar. Udah aku bilang, kan? Aku enggak suka kenalan sama orang baru. Tak usahkan laki-laki. Si Fuja aja dulu awal kenalan, kujutekin. Lah, apalagi cowok.

“Emang penting banget tahu nama gue?,”
“Ha..ha.ha..,” dia tertawa. Aku mengernyit. “Apa yang lucu?,” batinku.
“Kenapa loe ketawa?,”
“Gue suka cewek yang kayak loe. Enggak gampangan dan jutek. Tapi loe cantik.” Dia mulai modus.
“Oh yah? Gitu yah?,” kuletakkan penaku dan melipat tanganku di atas meja.
“Gue juga suka cowok kayak loe….”
“Suka?,”
“Iya suka…” … “Suka mau muntah…., permisi. Gue mau masuk kelas.”

Aku menutup buku dan meninggalkan dia di meja itu sendirian. Kenapa ya ada laki-laki yang suka modus kayak gitu? Kesel aku tuh.

*Penyerahan laporan
“Selamat pagi, anak-anak. Hari ini tugas team partner harus sudah selesai dan dikumpul sekarang. Silahkan ketua kelas. Kumpul tugasnya.”

Si Azul mulai berjalan mengutip laporan kami sekelas. Untungnya punya kamu sudah selesai. Enggak sia-sia deh aku begadang malam tadi buat ngerjain laporan.

“Punya kelompok kita udah selesai?,” anak baru bertanya padaku datar.
“Udah donk. Gue gitu loh.” Aku senyum. Oke..oke it’s for the first time I smile for him.
“Ngapain loe senyum? Gue cuma nanya tugas. Bukan nanya kabar loe,”
Ekspresi wajahku langsung berubah. Kecut. Senyum yang tadi merekah, langsung berubah asem. Awas loe yah.. Lana gue bakal bales loe….

“Oke anak-anak. Besok pagi hasil laporan bakalan ditempel di mading depan kelas kalian. Di situ bakalan bapak tulis kelompok mana yang terbaik dan nilainya.” …. “Selamat pagi,”

Pak Jamil keluar kelas. Dan aku tinggal menunggu besok untuk melihat hasil kerja kerasku. Eh,kami maksudnya. Biasanya aku satu team sama Fuja. Karena dia duduk bareng aku. Tapi kali ini aku bareng orang lain. Dan biasanya aku dan Fuja selalu dapat nilai terbaik. Dan semoga aja Fuja enggak apa-apa kalau harus sama Azul.

*Keesokan harinya di depan mading
“Yes… team gue yang terbaik.” Kataku girang.
“Yah.. team gur di posisi kedua.” Kata Fuja cemberut.
“Yeeee.. sahabat gue manyun.”…. “Enggak apa-apa. Ini ngebuktiin kalo misalnya loe itu tanpa jadi partner team gue juga bisa. Loe inget enggak dulu… ada yang bilang nilai loe tinggi gara-gara nyontek sama gue. Nah dengan ini loe udah bisa bakar itu mulut-mulut mereka….”
“Hehehe… iya yah.. duhh makin sayang deh sama loe, Ra….” Fuja peluk aku.
“Dihhh.. apaan sih loe ah? Peluk-peluk… udah tahu gue enggak suka dipeluk…” aku melepas pelukan Fuja.
“Hahaha.. iya iya. Gimana ntar kalo loe punya cowok yah? Enggak boleh peluk loe dong… hahaha…”
“Apaan sih? Kok malah ke sana bahasnya… udah yok masuk kelas….” Aku menarik lengan Fuja.

Aku dan Fuja udah temenan dari kami SMP. Waktu itu di hari pertama masuk sekolah aku jutek banget sama dia. Waktu itu dia yang duduk di sebelah aku. Kursi di sebelah aku kosong dan dia langsung duduk di situ tanpa ngomong apapun dulu. Dan dia langsung perkenalkan dirinya ke aku. Setiap hari dia aku jutekin. Tapi dia enggak pernah marah. Dia tetap sabar jadi teman sebangku aku. Sampai suatu hari kabar duka itu datang. Ayahku meninggal. Dan waktu itu, cuma Fuja satu-satunya orang yang bisa nenangin aku. Karena dia udah lebih dulu kehilangan ayahnya. Sejak saat itu, aku dan Fuja jadi teman dekat. Sedekat sekarang.

MY LANA (END)  #WATTYS2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang