14. Ia terluka

3K 265 42
                                    


- - m e s s y - -

Dia termenung di sudut kedai kopi sore itu, melamunkan segala hal yang dilewatinya. Terlihat asap mengepul dari kopi yang baru dipesannya itu. Ia hanya diam dengan matanya yang fokus menatap ke depan, entah apa yang benar-benar ia tatap.

Tidak ada pengunjung lain di kedai kopi itu selain dirinya. Ia suka menyendiri di saat pikirannya kelewat kalut. Mencoba bercerita dengan dirinya sendiri, mengajak berdiskusi, atau sekedar mengeluh tentang beban yang semakin berat di pundaknya. Entah sampai kapan ia akan menguatkan dirinya kalau semua akan baik-baik saja—dirinya akan baik-baik saja. Namun, pada kenyataannya, hidup selalu menyeretnya kembali merasa sakit dan ingin menyerah.

Perih itu semakin nyata melintas bersama mobil yang melaju. Kepingan-kepingan yang sudah larut dengan kopi-kopinya dihari lalu semakin berantakan. Kekuatannya meluruh seiring asap mengepul dari kopinya hilang. Sampai kemudian kopinya berubah dingin, sama dengan dirinya yang semakin tidak kuasa bertahan. Namun dipaksa bertahan, untuk tetap berdiri tegak meski semua terasa menyakitkan.

Semesta terlalu asik mengajak terlibat, sampai semua terasa tidak menyenangkan. Perlahan menyeret pada garis lurus tak berujung penuh liku juga pilu. Raga mungkin bisa bertahan, namun entah jiwanya sampai kapan bisa bertahan.

Seseorang juga bisa lelah terus menahan sendiri, namun, ia juga tak punya tempat berbagi. Sendiri dengan kopi hitam adalah caranya menguat. Ia lelah terus mengaku paling bisa menghadapi semua, ia lelah sok paling tidak memiliki masalah, ia juga lelah terus bertahan di atas duri-duri yang kian hari  kian nyeri. Ia juga bisa berhenti dan mengatakan menyerah. Namun, tidak mungkin, ia hanya memiliki dirinya sendiri. Kalau hari ini menyerah, siapa yang akan membawa pada hidup yang lebih baik?

Naif memang, namun ia hanya ingin orang lain melihatnya bahagia, meski di dalamnya ia punya luka. Ia sudah melewati segala rasa sakit selama ini, haruskah menyerah hanya karena rasa sakit yang kembali datang?

Pada senja yang berpulang ke peraduan, hanya satu harapan yang ia titipkan, kekuatan yang tiada habisnya. Sepenggal pesan tentang sabar yang hanya berakhir ketika napas berhenti, tentang tabah yang tak mungkin sia-sia, tentang rapuh yang butuh sembuh. Kehampaan atas dirinya terkadang menyayat lebih dalam. Ia terlalu suka sendiri dalam merasakan.

Masa mau nyerah sekarang? Kemarin masalah besar juga udah lo taklukin.

Kein tersenyum tipis ketika pikirannya menyemangati dirinya. Ia kembali pada kebiasaannya, setelah sekian lama ia menjauh dari kedai kopi ini, kini ia kembali. Dengan segala rasa sakit, luka, juga kehampaan yang menyelimutinya. Ia lebih suka berbicara dengan dirinya sendiri yang memang harus ia ajak berdiskusi.

Ada satu perempuan yang betah berjam-jam duduk di sebuah kedai kopi seorang diri. Larut dalam kepulan asap kopinya hanya untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Bertahun-tahun lamanya, ia masih sama.

Jangan paksa diri lo untuk kuat kalo lo emang lagi pengen ngeluh, Kein.

Suara lain dari dirinya. Kein tidak tahu apa yang sebenarnya ingin ia rasakan. Semua seperti sudah terlalu larut ia rasakan. Tentang kesendirian yang menuntutnya berjuang, tentang kehampaan yang menuntutnya tenang, tentang rasa sakit yang menuntutnya terbiasa, tentang luka-luka yang menuntutnya untuk sembuh. Ia sudah terbiasa. Kerinduan tak menemukan tempat yang menerimanya, kerinduan yang entah ditujukan pada siapa. Lagi-lagi ia terbiasa.

Ia menyeka sudut matanya yang hendak meneteskan cairan bening itu. Disesapnya kopi hitam dari sumatra itu, pahitnya bahkan tak lagi terasa di lidahnya. Di letakkannya kembali cangkir itu ke meja. Membiarkannya lebih dingin dan mudah diminum.

Messy (COMPLETE)Where stories live. Discover now