41 - Pentingnya Tahu Diri

Start from the beginning
                                    

Tak disangka-sangka, Fais menarik belakang kerah kemeja Gasta. Sret! Gasta hampir terjatuh. Dengan sigap, Gasta mencoba berdiri kembali. Saat berdiri itulah, tiba-tiba..

Byur!!!

“Hahahahahaha… rasain lo! Mandi pake seragam!” tawa terdengar dari mulut para berandalan sekolah itu. “Emang enaaaak? Hahahahaha.” imbuh Alam. Gasta terbatuk-batuk.

Ternyata Uzi menyiramkan seember air pada Gasta. Air tetesan AC di luar kelas mereka. Hidung Gasta yang kemasukan air terasa sakit. Namun yang lebih sakit adalah hatinya.

Gasta menunduk, lalu dilihatnya Danes. Danes hanya diam, menyaksikan dirinya yang basah kuyup oleh air, sementara yang lainnya tertawa terbahak-bahak. Gasta bisa melihat binar mata Danes yang memancarkan rasa bersalah, namun tetap saja, Danes terus bergeming.

Gasta, yang kali itu bingung bagaimana harus mengeringkan dirinya, kontan berlari meninggalkan berandalan itu. Dia kecewa oleh Danes. Ada rasa penyesalan mengapa dia begitu saja memaafkan Danes. Seandainya dia tau bahwa Danes tidak akan bisa berubah sepenuhnya…

***

Hati Gasta hampa. Bukan karena tidak ada Feliz saja, tapi juga karena ketiadaan Aimee. Gasta dan Aimee seakan menjadi orang asing yang pernah terjebak dalam kisah yang sama. Semuanya saling diam. Mereka hanya bicara seperlunya, bahkan hampir tidak pernah.

Sebaliknya, Gasta melihat Aimee semakin baik pada Danes. Danes, yang dulu sering menyakitinya. Danes, yang dulu Aimee benci. Danes, yang dulu seakan-akan selalu memulai permusuhan dengannya dan Aimee. Dan Danes, yang seolah tidak benar-benar mengakhiri permusuhan dengannya.

Gasta melihat semuanya dengan jelas. Aimee bercanda dengan Danes. Aimee menikmati kebersamaannya dengan Danes. Bahkan, Aimee menatap Danes dengan cara yang sama sebagaimana dia menatap dirinya dulu. Senyuman Aimee kali ini, bukan untuknya, namun untuk Danes. Semua seakan berubah cepat sekali.

Suatu siang saat pulang sekolah, Danes menghampiri Gasta, tepat di gerbang sekolah. Gasta masih mogok pulang. Dia pulang ke rumah mamanya, yang mana itu berarti dia naik angkot yang sama dengan Danes.

"Lo naik angkot?" tanya Danes. Gasta mengangguk. Danes melihat sekitar.
Gasta membatin, mengapa tiba-tiba Danes selunak ini?
"Biru?" tanya Danes lagi. "Iya." jawab Gasta singkat. Gasta sudah tau kalau Danes sudah tidak jahat lagi padanya sejak saat di gudang belakang itu.
"Gue juga. Barengan kuy?"
"Boleh."
Masuklah Gasta dan Danes ke dalam angkot.

"Lo ngapain naik biru? Kan biasanya naik item." lagi-lagi Danes yang bertanya.
"Gue pulang ke rumah nyokap. Kalo naik item, ke rumah Kak Feliz."
"Kaya juga ya lo. Rumah aja banyak."
Gasta nyengir. Keduanya lalu terdiam beberapa saat.

"Gas, lo masih suka ama Aimee?" serang Danes tiba-tiba. Tentulah Gasta terperanjat.
"Hah? Apa'an sih. Siapa juga yang suka." tepis Gasta sok cool.
"Udah nggak ya berarti?"
"Pa'an sih Dan."
"Dulu kan lo suka?"
"Udah lama engga kok." Gasta berbohong. Maksudnya, berharap Danes mengakhiri perbincangan soal Aimee kali itu.
"Oh, bagus deh kalo gitu." timpal Danes, tampak lega.
"Kenapa emangnya?"
"Gue suka lagi ama dia, Gas."

Deg. Lidah Gasta terasa kaku.

"Oh. Hahaha." Gasta menyahuti dengan tawa. Tawa getir.
"Yeee, ngapa ketawa sih?"
"Engga, ngga apa." Gasta menutup-nutupi isi hatinya. Tiba-tiba dia merasa bodoh sekali.
"Gue pernah bilang kan, sebelumnya. Dan sekarang, gue ngerasain apa yang gue rasain dulu. Semacam CLBK. Ternyata Aimee kalo care nyenengin banget, Gas."
Gasta hanya menanggapinya dengan senyuman tipis. Matanya menerawang kolong kursi angkot di depannya.
"Lo dulu pasti bahagia ya Gas, pernah dicare-in ama dia." tutur Danes, seakan tau perasaan Gasta. Gasta tetap diam.
"Aimee itu sempurna ya Gas. Ga ada cewe yang bisa kaya dia." Danes terus mencericip. Sedangkan Gasta, Danes tidak tau saja kalau dari tadi hatinya tercabik-cabik. Merasa didiamkan oleh Gasta, Danes ikutan diam.

"Gue boleh minta tolong ga?" celetuk Danes tiba-tiba.
"Tolong apa Dan?" sahut Gasta.
"Gue mau..." tutur Danes, "Lo bantuin gue buat dapetin Aimee."
Gasta kontan tersentak menoleh pada Danes.

Bantuin? Bantuin katanya?

Gasta dilanda kebisuan.

"Gas? Woy."
"Hah? Iya iya gimana?"
"Bantuin ya?" pinta Danes. Gasta menunduk dalam-dalam.
"Gas? Lo masih suka ya, ama Aimee?" tandas Danes tiba-tiba. Gasta mendadak tertawa. "Pa'an sih Dan. Hahahaha."
"Kok, lo diem aja? Bantuin gue bisa kan?"
Gasta tersenyum lagi. Terdiam beberapa saat, lalu mengangguk ragu. Danes balas tersenyum.

Pikiran Gasta mulai berkelana. Tidak bisa dipungkiri bahwa jauh, jauh di dalam hatinya, nama Aimee selalu ada. Tapi, kesombongan Aimee dan keangkuhan hati Gasta sama-sama kuat. Sama-sama memanipulasi logika untuk berupaya mengenyahkan pesonanya dari dalam benak. Maka ketika Gasta tau bahwa Danes menyukai Aimee (lagi), tentunya ada rasa cemburu dan gelisah terselip dalam dada. Namun cepat-cepat ditepisnya hal itu; ya, dengan anggukan samar tadi.

"Kiri pak." suara salah seorang penumpang membuyarkan lamunan Gasta. Ternyata Gasta sudah sampai di depan komplek rumah mamanya. "Gue duluan, ya Dan." pamitnya pada Ihdan. "Oh lo di mari. Gue ikut." ujar Danes, membuat mata Gasta terbelalak. "Ngapain?" tanyanya. "Udah. Gue mo ngobrol banyak ama lo." Danes menepuk-nepuk pundak Gasta mengisyaratkan bahwa dia ingin ikut.

Setibanya di rumah, Gasta langsung mengajak Danes ke kamarnya.

"Jadi ya Gas, banyak banget hal yang perlu gue bilang ke elo." Danes memulai pembicaraan. Gasta yang duduk di depannya, lagi-lagi hanya menunduk.
"Dan, lo tau kan gue ama Aimee sekarang gimana? Gue gak yakin dia bakal dengerin gue." desis Gasta.
"Gue bukan lagi Gasta yang dulu di mata Aimee, Dan. Gue sakit. Gue gak ada waktu buat dia. Dia juga. Dia lebih deket ama lo daripada ama gue sekarang." hati Gasta nyeri saat mengucapkan kalimat terakhir.
"Lo gak mau bantuin gue? Lo masih suka ama dia Gas?" sedangkal itu rupanya pola pikir Danes.
"Bukan karena gue masih suka. Tapi karena gue udah ga sedeket itu ama Aimee, Dan." tepis Gasta.
"Tapi dia percaya ama lo, Gas. Gue yakin. Udah. Gue gak mau tau. Yang penting lo usaha dulu buat nyatuin gue ama Aimee. Kalo lo gak mau, berarti lo masih suka ama dia." pungkas Danes. Gasta menatapnya dengan senyuman kecut.

"Deal?" suara Danes membuyarkan lamunan Gasta. Gasta menghela napas panjang. "Sebisa gue ya Dan? Gue gak janji."
Danes mengangguk mantap.

Diskusi siang menjelang sore itu berlangsung seru namun dengan kegamangan hati Gasta menjadi latar belakangnya.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now