40 - Tergerusnya Kepercayaan

Start from the beginning
                                    

Gasta menumpahkan segala kekesalannya siang itu hingga dia kelelahan dan tertidur di kasurnya.

***

Saat Gasta terbangun, dia baru sadar kalau dari tadi tubuhnya masih terbungkus seragam sekolah. Matanya sembab dan lengket, dengan hidung merah, berair dan terasa buntu sebelah. Jam sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Jelas Valdi sudah pulang. Langsung saja Gasta mengganti bajunya dengan kaos oblong dan celana olahraga. Dikenakannya pula jaket miliknya.

Gasta berencana main sampai malam. Masa bodoh dengan Feliz. Toh besok dia tidak sekolah karena diskors. Gasta turun dari kamarnya dengan mata yang masih sembab dan hidung memerah.

Feliz, yang kali itu sedang duduk santai di sofa, kaget saat adiknya buru-buru turun dari tangga dengan menenteng tas basketnya.

"Mau kemana?" sergah Feliz mencegat adiknya.
"Bukan urusan kakak." Gasta melenggang begitu saja, lalu menyambar kontak motor yang ada di atas meja.
"Gasta!" Feliz menarik jaket Gasta, lalu dihentakkannya begitu saja oleh adiknya itu.
"Pa'an sih!" Gasta melejit ke halaman, dimana motor Feliz di parkir. Teriakan Feliz yang memanggil-manggilnya tak dihiraukannya. Gasta langsung tancap gas meninggalkan rumah.

"Brengsek!" umpat Feliz kesal setengah mati. Dihentak-hentakkannya kakinya ke lantai sambil menatap kepergian adiknya.

***

"Bangsat emang!" umpat Valdi, melemparkan kaleng minuman ringannya ke tanah. Gasta tersenyum tipis. Dia baru saja menceritakan insidennya dengan Aimee siang itu pada Valdi.

"Sapa Di, yang bangsat?" pancing Gasta. "Semuanya, lah! Tapi paling bangsat si Aimee sih." sahut Valdi. Dia berpindah tempat duduk. "Udah ditolongin, malah ngefitnah. Gue jadi lo udah abis tu si Aimee!" imbuhnya, masih diredam amarah. Gasta tertawa. "Kasian kali Di. Masa iya gue cowo ngabisin cewe." ujarnya, masih membela Aimee. Valdi melotot ke arahnya.
"Lo jangan mau dibodohin ama cinta, Gas. Cinta lo kayanya bikin lo buta segalanya gitu." protes Valdi. Gasta yang sedang mendribble bola basketnya lagi-lagi hanya tersenyum.

Bruk! Valdi dan Gasta menghempaskan tubuhnya di halaman rumah Valdi yang mewah itu. Semuanya tenggelam dalam pikiran masing-masing.

"Gue dongkol lah ama Aimee. Tapi... Gue gak bisa benci dia gitu aja. Gue marah, tapi gue gak bisa nganggep dia brengsek ato apalah." Gasta duduk, meraih bola basket lalu memeluknya. "Gue terlalu gak bisa ngelupain Aimee, Di."

Valdi melengos, bola matanya diputar ke atas. "Tai lo, Gas. Ya udah. Yuk siap-siap. Udah ditungguin ama anak-anak di lapangan."

***

Petang menjelang, namun Gasta tak kunjung datang. Feliz risau tak karuan. Daritadi, ponsel Gasta tidak dapat dihubungi. Selalu tidak aktif. Feliz menggigit bibir, khawatir jika terjadi suatu hal yang membahayakan pada adiknya.

Tiba-tiba, deru mobil sedan terdengar di halaman rumahnya. Feliz mengintip dari balik jendela. Alangkah terperanjatnya dia saat melihat mama dan papanya tiba-tiba datang ke sana.

"Anjir, ngapain segala nih dua orang kemari?" Feliz langsung suntuk.

Ya, mereka berdua sudah masuk rumah. Mamanya memanggil-manggil Feliz dan Gasta. Langsung saja Feliz melesat keluar.

Berbasa-basi singkat, akhirnya pertanyaan yang paling Feliz takutkan meluncur juga dari bibir mamanya.
"Gasta mana?"

Feliz diam seribu bahasa. Setelah mamanya menegur, Feliz baru bisa buka suara. "Gak tau... Bawa motor dari sore. Gak tau kemana."

Papanya langsung mendongak.

"Dari sore?" ulangnya. Feliz menjawabnya dengan anggukan samar.
Amarah papanya memuncak. Dia memarahi Feliz dan mengatakan bahwa dia tidak becus menjadi seorang kakak. Feliz akhirnya menceritakan semua insiden siang itu, tanpa menceritakan pelanggaran yang dilakukan Gasta hingga dia diskors. Feliz ingin melindungi Gasta. Dia hanya bilang Gasta diskor gara-gara melanggar peraturan kecil di sekolah.

Aim for AimeeOn viuen les histories. Descobreix ara