Prolog

21.1K 855 43
                                    

BULAN Juli tahun 1999, sepertinya menjadi bulan penuh anugerah bagi seorang remaja bernama Kania Rajendra. Mendapatkan nilai terbaik di SMP hingga membuatnya mendapatkan kesempatan bisa melanjutkan ke sekolah favorit yang ada di kota tempat tinggalnya. Bahagia itu nyatanya bukan hanya milik seorang Kania, tetapi juga milik ayah dan ibunya.

Sebagai seorang anak guru honorer yang tinggal di pelosok desa, Kania bisa membuktikan bahwa dia bisa bersaing dengan banyak siswa di kota hingga namanya ada di urutan sepuluh besar teratas dalam daftar penerimaan siswa baru SMA 1 Nusantara. Yang lebih membanggakan lagi adalah ketika dia menerima penghargaan sebagai peserta didik dengan nilai tertinggi dalam masa orientasi siswa sebelum kegiatan belajar mengajar tahun ajaran baru dimulai.

"Nia, kamu nggak tertarik gitu ikut ekstra paskib?" Kania menggeleng.

Tidak banyak yang mengenal sosok Kania, karena dia bukan selebritis sekolah yang berasal dari SMP favorit kota yang rata-rata siswanya bedol desa masuk ke SMA 1 Nusantara. Sehingga, meski Kania pernah mendapatkan penghargaan dan naik ke podium untuk menerima hadiah, dia tidak terlalu dikenal di 15 kelas teman-teman seangkatannya, kecuali teman satu kelasnya.

"Ish, kalau kamu ikut paskib kan bisa terkenal. Rugi deh, siswa pandai tapi nggak mau menonjolkan diri." Kali ini gigi Kania terlihat saat dia mulai tertawa.

"Apaan sih, Qi?" tanya Kania.

"Terkadang untuk bisa ikut kegiatan-kegiatan di luar sekolah, kita juga harus aktif, Nia. Jangan hanya sibuk menjadi siswa yang letter lux. Ingat, Putri Indonesia itu dipilih selain otaknya cerdas, cantik, juga karena perilakunya dan ketrampilannya."

"Widih, kompor banget sih kamu, Qiyyara!" Kania merengut.

"Lagian ya, rugi loh, udah pinter tapi nggak bersinar di sekolah karena nggak aktif dalam berkegiatan."

"Iya, tapi ntar yang ada pasti aku selalu jadi anggota empat lima karena tinggiku yang nggak nyampe semeter ini." Keduanya lalu tertawa bersama.

"Emang kamu mau ikut, Qi?" tanya Kania. Bersamaan dengan gelengan kepala Qiyyara meluncur juga remasan kertas yang ada di tangan Kania seketika.

"Nggak kuat sama diklatnya, berat guys," jawab Qiyyara.

"Gitu nyuruh aku, kamu aja nggak berangkat. Padahal kamu kan anak kota, Qi. Tinggi juga memenuhi kriteria, cantik, apalagi?" Kibasan tangan Qiyyara menjawab semuanya.

Kania juga paham, wanita sekalem Qiyyara pasti tidak akan bersedia mengikuti kegiatan super aktif seperti itu. Ditambah dengan penampilan syari-nya. Di tangannya justru ada formulir pendaftaran ikut ekstra keputrian.

"Kamu mau ikut juga?" tanya Qiyya. Kania menggeleng. Melihat penampilan mereka yang berbeda, Kania belum yakin bisa berada di lingkungan Qiyyara.

"Aku kan nggak pakai jilbab, Qi," kata Kania.

"Tidak ada syarat juga menjadi anggota keputrian harus berjilbab. Tapi kalau berjilbab itu jauh lebih baik. Sebagai muslimah, kan memang wajib, Nia." Meski Qiyyara tersenyum, tapi senyuman itu tidak membuat Kania merasa tersinggung. Kania tahu, berjilbab adalah kewajiban setiap muslimah, tapi untuk saat ini dirinya masih belum siap.

"Kamu nggak malu, kan, Qiyya, punya sahabat nggak berjilbab seperti aku?"

"Nggaklah. Namun, sebagai muslimah kita wajib saling mengingat...." Belum sampai kalimat Qiyyara terselesaikan, di antara mereka terdengar sapaan yang langsung menginterupsi percakapan keduanya.

"Assalamu'alaikum, Qiyya. Kamu berniat ikut ekstra keputrian ya?"

"Wa'alaikumsalam. Iya, Fan. Ada apa ya?"

SQUADRON CINTA [Terbit]Where stories live. Discover now