1. Jodoh

51.2K 3.1K 109
                                    

"Aku nggak mau, ma!"

"Sekali ini aja mama minta sama kamu turutin mama kenapa sih?"

"Sekali?! Ma, nggak cuma sekali ini mama minta aku untuk ikutin acara perjodohan mama itu. Aku capek, ma. Aku muak!"

"Tapi mama kan cuma mau yang terbaik buat kamu, Tama."

"Ma! Aku udah tiga lima. Udah lebih dari dewasa untuk menentukan pilihanku sendiri. Mama nggak perlu repot-repot begini. Aku bisa cari istri sendiri."

"Terus mana buktinya? Sejak Mila meninggal, kamu nggak pernah lagi bawa perempuan ke rumah. Mama tahu kamu sayang sama dia, Tama. Mama sedih karena menantu mama pergi begitu aja. Tapi itu udah lama. Kamu nggak bisa begini terus. Kamu satu-satunya yang mama punya. Mama udah tua. Mama takut...mama takut mama keburu mati sebelum lihat kamu bahagia."

"Ma! Nggak usah bawa-bawa kematian. Mama sehat. Mama kuat. Aku nggak perlu dikhawatirin."

"Mama cuma pengen lihat kamu bahagia, Tama."

"Aku bahagia, mama. Buatku bahagia nggak harus dengan menikah."

Aku hanya bisa duduk menunduk di kursi ruang tamu mendengar perdebatan ibu dan anak itu. Kedua jariku saling meremas di atas pangkuanku. Suara mereka begitu jelas terdengar telingaku meski aku tahu keduanya sedang bicara di dapur sana. Ya, aku tak bisa menyalahkan mereka juga. Rumah ini kecil. Jarak dari ruang tamu ke dapur mungkin tak sampai sepuluh meter.

Mau bagaimana lagi? Hanya rumah ini yang mampu kusewa dengan gajiku sebagai pustakawan di sebuah universitas swasta.

Suara gorden yang disibak secara kasar membuatku terperanjat. Aku mendongak dan mendapati mata Tama yang biasanya menyorot penuh sinar jenaka kini memandang tajam padaku. Rahangnya berkedut. Meski aku sudah berusaha menampilkan senyum, mimik wajahnya masih saja keras.

Tiga detik. Hanya selama itu aku mampu membalas tatapan Tama. Selebihnya aku kembali menunduk. Aku takut. Aku merasa bersalah. Tatapan matanya seolah menuduhku. Seolah mengatakan bahwa aku adalah seorang pengkhianat.

Aku hanya mampu menggigit bibir bawahku. Aku tak mau menangis sekarang. Tidak di hadapannya. Ataupun mama.

Padahal ini semua bukan salahku. Bukan sepenuhnya keinginanku.

Tama hanya diam. Mungkin di benaknya sana ia tengah membayangkan mencekik leherku hingga aku mati kehabisan napas. Aku tahu ketika menyetujui ide bodoh ini, hubunganku dengan Tama tak akan lagi sama. Kami tak hanya akan kembali menjadi orang asing. Besar kemungkinan bagi Tama, aku sekarang ini adalah musuhnya. Parasit. Pengganggu. Sesuatu yang harus segera disingkirkan.

Aku makin kuat menggigit bibirku saat mendengar langkah Tama. Ia tidak berjalan ke arahku tapi tetap saja aku takut. Ia keluar, mungkin sudah muak berada di dalam rumah ini. Rumah kecil seperti ini jelas jauh dengan rumahnya sana yang ada di tengah kota. Namun, jauh di lubuk hatiku yang paling dalam sana, aku tahu bukan masalah besar atau kecilnya rumahku. Ini karena ide konyol itu.

Aku tak bisa menyalahkan Tama. Sama sekali tak bisa. Aku paham benar apa yang ia rasa. Sepuluh tahun kami saling mengenal. Sepuluh tahun kami lewati semuanya bersama...sebagai saudara. Tak heran Tama sekarang marah besar. Akupun akan bereaksi serupa jika tak mengingat kebaikan mama.

Suara keras benda jatuh menarikku dari lamunan. Aku bergegas berlari menuju dapur. Entah apa yang terjadi tahu-tahu mama sudah terduduk di lantai. Sebuah kursi yang kuduga sebagai sumber suara benda jatuh tadi tergeletak di samping mama.

"Mama!" Tanganku terangkat membantu mama berdiri. Kutuntun ia untuk duduk di kursi ruang tamu. "Mama nggak apa-apa?" tanyaku khawatir.

Mama hanya menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Tolong ambilin mama minum ya, Yu."

Status: It's ComplicatedWhere stories live. Discover now