BAB 3

9.7K 640 18
                                    

Don't forget for vote and comment..

Enjoy the story :)

_______________________________________

Anan mematut dirinya di depan cermin di ruang ganti. Pelajaran olahraga telah usai, dan sebentar lagi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan akan segera dimulai, jadi ia harus segera berganti pakaian jika tidak ingin dimarahi. Suara pintu terbuka membuatnya mengalihkan perhatian. Dilihatnya Gina -teman sekelasnya- masuk sambil membawa seragam pramuka.

"Hai, Nan." sapa gadis itu yang dibalas senyuman oleh Anan. "Oh ya, tadi bapak kepala sekolah mencarimu ke kelas." katanya lagi.

Anan mengernyit, "Ada apa memangnya?" tanyanya penasaran.

"Tidak tahu, katanya kau di tunggu di ruang kepala sekolah sebelum dzuhur." jawab Gina.

"Oke." Anan segera memasang bros kecil di kerudungnya, lalu membereskan pakaian olahraga yang dipakainya tadi.

"Aku duluan ya." pamitnya pada Gina lalu melangkah pergi menuju ruang kepala sekolah setelah memakai sepatu dan menyimpan pakaiannya di kelas.

Dengan sopan Anan mengetuk pintu sambil mengucapkan salam sesampainya di depan ruang kepala sekolah. Tak lama, pintu bertuliskan 'Ruang Kepala Sekolah' itu pun terbuka dan memperlihatkan kepala sekolahnya yang sudah lanjut usia namun masih penuh wibawa.

"Assalamualaikum, pak." Anan meraih tangan Eri dan menyalaminya.

Eri tersenyum, "Waalaikumsalam. Ayo masuk, Nan."

Anan tersenyum kecil lalu masuk ke dalam ruangan tersebut. Langkahnya terhenti saat matanya menatap seseorang yang tengah duduk di sofa dengan santai. Mata biru lelaki itu menatapnya balik. Ada pesan tersirat dari tatapan itu bahwa ia harus waspada terhadapnya.

"Silahkan duduk." Eri mempersilahkan Anan duduk di depan Rayyan. Anan menatap Eri langsung, tak berniat menatap lelaki di hadapannya. "Kau pasti sudah mengenalnya. Beliau adalah pak Rayyan, donatur di sekolah kita. Ya, walaupun usianya tidak jauh beda denganmu, tapi kau boleh memanggilnya bapak saja."

Anan mengangguk mengerti, menatap sekilas Rayyan yang tengah menatap tangannya. "Jadi kenapa saya dipanggil kemari ya pak?" tanyanya langsung. Ia tak tahan berada di satu ruangan yang sama dengan Rayyan. Apalagi dengan tatapan intens dari lelaki itu, meskipun ekspresi lelaki itu sulit dibaca olehnya.

"Jadi begini, pak Rayyan berniat memberikanmu beasiswa pendidikan sampai kau lulus sarjana. Dan setelah kau lulus nanti kau bisa bekerja di perusahaannya. Hanya saja kau harus mau bekerja sama dengan beliau untuk membantunya di perusahaan mulai dari sekarang. Bagaimana menurutmu?"

"Saya tidak tahu, pak. Saya harus membicarakan ini terlebih dahulu dengan orang tua saya." Jawab Anan dengan sopan. Entah mengapa ia tak ingin menerima beasiswa yang diberikan oleh Rayyan, rasanya sama saja dengan menerima Rayyan di dekatnya. Ia tidak ingin berurusan lagi dengan Rayyan.

"Baiklah kalau begitu. Bicarakan baik-baik dengan orang tuamu. Ini kesempatan yang besar untukmu." balas Eri bijak.

Anan menganggukkan kepalanya, "Kalau begitu saya permisi dulu, pak." katanya, lalu menyalami Eri dan mengangguk sekilas pada Rayyan.

Anan keluar dari ruangan tersebut. Namun baru beberapa langkah ia berjalan, seseorang menghentikan langkahnya dengan menarik tangannya. Anan membalikan tubuhnya dan menatap Rayyan terkejut.

"Apa yang kau la--"

"Aku ingin bicara denganmu." Rayyan menarik Anan menuju toilet staf sekolah yang saat itu tengah sepi. "Berapa jahitan yang kau dapat?" tanyanya, menatap sekilas tangan kiri Anan yang terbalut perban.

Light in The Darkness - #1  [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang