[20]

376 49 5
                                    

Pagi ini, Fiona diantar oleh kakak laki-lakinya dengan motor matic-nya yang berwarna hitam. Fiona memang biasa diantar dan dijemput oleh kakaknya kalau kakaknya sedang berada di rumah mengingat kakaknya jarang pulang ke rumah dan lebih sering menginap di tempat kos teman satu kampusnya. Sesampainya di depan gerbang sekolah, Fiona melepas helm yang sejak tadi dipakainya dan memberikannya kepada kakaknya.

"Cowok yang waktu itu siapa? Mau nanya ini tapi lupa terus. Udah beberapa hari belakangan ini gue, kan, nggak nganter lo." tanya kakaknya tiba-tiba.

Fiona mengerutkan alisnya. "Cowok yang mana?"

"Yang waktu itu. Dia naik motor matic juga pokoknya." kata kakaknya.

"Leo?" kata Fiona yang sebenarnya asal menebak. Entah mengapa nama Leo yang pertama kali terlintas di pikirannya. Fiona benar-benar tidak siapa yang dimaksud kakaknya itu mengingat Fiona jarang sekali menceritakan tentang laki-laki kepada kakaknya.

"Oh, namanya Leo." kata kakaknya sambil mengangguk-angguk. "Ya udah, gue cabut, ya. Pulang nanti gue nggak bisa jemput jadi pulang sendiri, ya."

Belum sempat menyetujui perkataan kakaknya, kakaknya sudah melesat pergi meninggalkan Fiona yang berdiri di depan gerbang sekolah. Fiona menghela napasnya dan melangkah masuk menuju kelasnya.

"Eh, lo nyimpen surat di kolong mejanya Leo?" tanya seorang perempuan kepada temannya yang berada di depan Fiona.

"Iya. Tapi, belum dibales-bales nih. Kayaknya dia nggak suka sama gue." kata teman perempuan itu dengan nada sedih. "Apa gue kurang cantik, ya?"

Fiona menyeringai mendengar obrolan kedua perempuan yang berada di depannya. Fiona tidak sekali atau dua kali mendengar para siswi di sekolah ini membicarakan Leo. Fiona terkadang bosan juga mendengarnya seakan-akan di dunia ini tidak ada laki-laki lain.

"Lo cantik, kok!" kata perempuan tersebut. "Tapi, kenapa, ya, Leo mau sama Fiona? Padahal, kan, dia biasa aja."

Ekspresi wajah Fiona langsung berubah setelah mendengar ucapan perempuan tersebut. Mereka sepertinya tidak menyadari kalau di belakangnya ada Fiona yang menguping pembicaraan mereka. Anjir, gue dikatain biasa aja, batin Fiona.

"Iya. Terus mereka pacaran juga nggak ada sebulan. Curiga mereka nggak saling suka." kata teman perempuan itu.

"Dia, mah, dapet nikmat nggak dinikmatin. Malah dibuang." kata perempuan tersebut. Kedua perempuan tersebut kemudian tertawa.

Mendengar semua ucapan kedua perempuan tersebut membuat Fiona kesal. Saat Fiona akan menghampiri mereka, seseorang menepuk pundaknya.

"Apaan lo, hah?" seru Fiona dengan kesal sambil berbalik.

"Lo nggak papa?" tanya seseorang itu yang ternyata adalah Erick.

"Ah? Erick?" kata Fiona yang kembali tenang, lalu tersenyum. "Nggak papa, kok."

Tanpa berkata-kata, Fiona langsung berjalan kembali dengan perasaan sedikit malu. Terlihat Erick berjalan mengikutinya di belakang. Sesampainya di kelas, Fiona melihat bangkunya yang masih kosong. Fiona beru teringat kalau teman sebangkunya tidak akan masuk hari ini. Saat Fiona akan menaruh tasnya, Fiona tidak sengaja melihat sebuah surat berwarna biru di atas mejanya. Di bagian depan surat itu tertulis 'Untuk Fiona'. Fiona melihat sekeliling kelasnya, lalu mengambil surat itu sambil duduk. Fiona melihat sejenak surat itu dan berpikir siapa yang menyimpan surat ini di mejanya? Fiona tidak pernah mendapatkan surat seperti ini selama dia bersekolah di sini.

Fiona melirik ke arah Erick yang sedang mengeluarkan buku dari tasnya. Nggak mungkin Erick, kan, yang nyimpen? Ah, bego. Kenapa nggak dibuka aja? batin Fiona.

Saat Fiona akan membuka surat berwarna biru itu, Pak Philip tiba-tiba masuk ke dalam kelas. Fiona secara refleks menyimpan surat itu dikolong mejanya, lalu mengeluarkan buku Matematika dari dalam tasnya. Fiona tidak sadar kalau bel masuk sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu.

***

"Mau ke kantin bareng?" tanya Erick setelah bel istirahat berbunyi.

"Duluan aja. Nanti gue nyusul." jawab Fiona sambil tersenyum.

"Oke." kata Erick meninggalkan Fiona dan berjalan keluar kelas.

Setelah Erick benar-benar sudah keluar kelas, Fiona langsung meraba kolong mejanya untuk mengambil surat berwarna biru yang tadi pagi ia temukan di atas mejanya. Fiona melihat kembali tulisan 'Untuk Fiona' di bagian depan surat itu. Fiona merasa tidak asing dengan tulisan tangan tersebut. Akhirnya, tanpa ragu Fiona membuka surat itu dan terlihat tulisan yang cukup panjang tertulis di sana.

Dear Fiona,

Agak awkward memang nulis surat kaya gini karena seumur hidup gue gak pernah nulis surat buat seseorang. Tapi, gue nulis surat ini tulus buat lo. Gak ada paksaan. Sumpah.

Lo inget surat yang isinya puisi yang lo simpen di kolong meja gue? Itu pertama kalinya gue penasaran sama lo. Setelah gue liat wujud asli lo, gue malah semakin penasaran sama lo dan bisa dibilang gue kena 'cinta pada pandangan pertama' waktu itu.

Tapi, perasaan gue berubah setelah kejadian di rumah pohon itu. Gue baru tau ternyata lo nyebelin. Gue gak suka sama lo. Tapi, ternyata perasaan itu gak permanen. Perasaan yang lain malah muncul lagi setelah kita sering ketemu saat lo minta gue pura-pura jadi pacar lo. Jujur, gue kadang deg-degan pas ada di sebelah lo.

Saat kita 'putus', gak tau kenapa ada rasa gak nyaman di dalam diri gue. Tapi, gue kadang mikir kayanya gue bukan yang terbaik buat lo. Gue gak ada di sisi lo pas kejadian waktu itu, dan gue takut kalau lo gak punya perasaan yang sama kaya perasaan gue ke lo.

Gue gak tau kenapa pikiran dan mata gue selalu tertuju ke lo. Gue gak bisa lupain lo walaupun gue berusaha. Apa itu berarti gue bener-bener suka sama lo ya?

Kalau lo punya perasaan yang sama kaya gue, lo mau jadi pacar beneran gue?

Gue tunggu di rumah pohon sampe jam 6.

Please jangan telpon atau chat.

-Leo Hemmings-

Setelah membaca surat yang ternyata dari Leo itu, Fiona langsung beranjak dari duduknya dan berlari keluar kelas. Fiona terlihat mengintip dari jendela kelas yang berada di sebelah kelasnya. Tidak menemukan yang dicarinya, Fiona langsung menuju kantin. Kedua mata Fiona sempat melihat sekeliling kantin sampai menemukan orang yang dicarinya.

"Leo... mana?" tanya Fiona sambil terengah-engah setelah menghampiri Ryan yang sedang makan sendirian di kantin.

"Leo nggak masuk. Dia tiba-tiba sakit. Kenapa?" tanya Ryan heran karena melihat ekspresi Fiona yang tidak biasa. Fiona hanya terdiam dan duduk di depan Ryan sambil menenangkan dirinya.

***

A/N:

Chapter selanjutnya chapter yang terakhir alias ending. Alhamdulillah ye ff ini akhirnya bakal selesai. :'-)

Btw yang bagian kakaknya Fiona itu gue ngejelasin cowok yang jemput Fiona di chapter 5. Fyi aja.

Ashton pake kacamata biar keren
Jangan lupa ye vomment

Ini kenapa gue jadi hobi ngepantun gini.

LEOWhere stories live. Discover now