[1]

3.7K 372 140
                                    

Leo melepas helm yang dipakainya setelah ia memarkirkan motor matic yang dibelikan Papanya satu tahun yang lalu. Leo mengaitkan helmnya di motor, lalu merapikan rambutnya yang sebenarnya tidak berantakan sambil bercermin di kaca spion motornya.

Beberapa siswa perempuan yang melintas di lorong sekolah terlihat memerhatikan Leo yang sedang berjalan. Hal ini memang sudah menjadi makanan sehari-hari Leo. Leo tidak tahu mengapa para siswa perempuan di sekolah ini selalu melihatnya sambil terkadang memperlihatkan senyum mereka yang menurut Leo agak menakutkan. Leo mengakui dirinya memang memiliki wajah yang ganteng. Tapi, siswa laki-laki ganteng di sekolah ini tidak hanya dirinya.

Leo menaruh tas ranselnya di atas meja, lalu meraba-raba kolong mejanya. Awalnya, Leo ingin mengambil buku tulisnya yang tertinggal kemarin. Namun, Leo malah mendapatkan dua surat berwarna merah mudah di dalam kolong mejanya.

"Cie, dapet surat cinta lagi,"

Leo mendongakkan kepalanya dan melihat Ryan, yang sudah duduk di sampingnya, sedang tersenyum menggoda kepadanya. Leo hanya memutar matanya dan melihat ke kedua surat itu. Leo memang selalu mendapat surat dari siswa perempuan yang bahkan ia tidak kenal. Sekali lagi, Leo tidak tahu mengapa mereka menaruh surat yang bisa dibilang adalah surat cinta di kolong mejanya.

"Oh iya, lo dapet salam dari Nia," kata Ryan tiba-tiba.

Leo menoleh ke arah Ryan dan mengerutkan alisnya setelah memasukkan dua surat itu ke dalam tas ranselnya. "Nia siapa?"

"Nia yang ikut ekskul dance," kata Ryan memberi jeda. "Lo juga dapet salam dari Mandy, Jessica, Gina, Khaira, terus-"

"Anjir, banyak amat. Itu cewek-cewek kenapa nggak langsung say hi aja ke gue?"

"Mereka malu lah nyapa lo duluan. Mikir aja kali." kata Ryan sambil mengambil buku tulis dari dalam tas ranselnya. "Serius gue udah nggak sanggup nerima chat dari cewek yang ujung-ujungnya nanyain lo. Kadang gue merasa nyesel jadi sahabat lo."

"Yakin nyesel?" Leo menaikkan kedua alisnya dan tersenyum jahil. "Kalau nggak ada gue, nilai Matematika lo pasti merah."

"Iya aja lah yang ganteng mah bebas." cibir Ryan. "Eh, gue liat PR Matematika dong? Gue belum nih."

Tepat saat Leo mengeluarkan buku tulisnya, bel tanda masuk berbunyi. Mendengar itu, Ryan terlihat panik dan langsung merebut buku tulis yang sengaja Leo keluarkan dari tas ranselnya secara perlahan. "Mampus gue! Cepet amat udah bel lagi."

Leo hanya menahan tawanya melihat teman sebangkunya itu panik sambil menyalin PR Matematikanya dengan sangat cepat.

***

"Tumben lo langsung pulang?" tanya Ryan saat berpapasan dengan Leo yang sudah menaiki motornya di depan gerbang.

"Gue nggak pulang,"

Ryan membulatkan matanya. "Lo mau kabur dari rumah?"

"Nggak lah, anjir." Leo menggelengkan kepalanya cepat. "Gue mau ke tempat biasa."

"Oh, kirain." kata Ryan menghela napas lega.

"Ya udah, gue duluan, ya, bro." kata Leo kembali, lalu melajukan motornya.

Setelah 15 menit perjalanan, Leo akhirnya sampai di depan sebuah rumah pohon yang berada di dalam hutan kecil dekat sekolahnya. Rumah pohon ini sudah menjadi tempat Leo untuk menyendiri sekaligus tempat persembunyiannya. Hanya Ryan yang tahu tentang tempat ini.

LEOWhere stories live. Discover now