SEBELAS

915 142 22
                                    


Dua mobil mewah berhenti tepat di depan sebuah gedung perusahaan rekaman di Manhattan, New York, membuat penjaga dengan sigap membukakan pintu mobil yang ia tahu adalah milik petinggi perusahaan itu.

Dengan langkah pasti, Sean memasuki gedung perusahaan miliknya, diikuti dua orang yang mengekorinya di samping kiri dan kanannya. Wajahnya yang datar terlihat mengeras sampai membuat orang-orang yang mengenalinya tak berani menyapa, apalagi untuk sekadar sapaan basa-basi. Memasuki lift khusus, Sean masih terlihat marah. Ia memejamkan matanya mencoba menurunkan kadar emosi dalam dirinya saat ini.

Proses negosiasi dengan perusahaan Korea Selatan berjalan alot. Seperti yang sudah diperkirakan, Lee Sung Won—CEO agensi tersebut—tak dapat ditaklukan dengan mudah. Ada tiga kandidat perusahaan lain seperti miliknya yang bersaing mendapatkan tender kerjasama dengan perusahaan rekaman terbesar di Korea Selatan itu. Tentu saja menjadi persaingan ketat lantaran perusahaan itu tercatat menelurkan artis-artis terbaik yang sudah dikenal di seluruh dunia, dan pastinya akan menguntungkan bila menjadi rekanan bisnisnya.

Sean, seperti ketiga pemilik perusahaan lainnya, sudah mengemukakan keuntungan-keuntungan apa saja yang bisa didapat jika mereka bekerjasama dengan perusahaannya. Tapi dasar sang CEO yang terkenal selektif dan amat tegas itu tak menunjukkan reaksi yang memuaskan. Bahkan sudah diiming-imingi dengan keuntungan yang lebih besar pun tetap tak menggerakkan hatinya untuk memilih perusahaan Sean.

“Matt.” Panggil Sean pada orang disamping kirinya.

Yes, Sir.”

“Segera siapkan strategi yang kusebutkan tadi. Dan jangan lupa sertakan daftar produser-produser handal kita. Kalau perlu kau rekrut produser nomer satu di negara ini.”

“Bukankah itu akan memerlukan waktu? Sementara kita hanya punya waktu sedikit.”

“Ini perusahaan besar! Apapun akan aku lakukan untuk mendapat proyek ini!” Suara tegas Sean membuat Matt tak bisa berkutik.

“Jas,”

Yes, Sir.”

“Cari tahu strategi apa yang direncanakan tiga perusahaan itu. Kita harus bergerak cepat sebelum mereka.”

“Baik.”

Pintu lift terbuka. Matt berpamitan menuju ruangannya, sementara Sean menuju ruangan kebesarannya, bersama Jason yang mengekori. Sesampainya di ruangannya, Sean langsung menghempaskan diri di kursinya. Ia menghela napas seraya memijat pangkal hidungnya. Ternyata menjalankan bisnis begitu melelahkan.

“Jangan terlalu stres memikirkannya.” Ujar Jason sambil berjalan ke arah kulkas kecil di pojok ruangan mengambil dua kaleng kopi disana. Kafein membantu melepas stres. “Minumlah dulu.” Ia melempar satu kaleng pada Sean yang ditangkap lelaki itu dengan mudah.

We have to win this project. Kau tahu sendiri berapa banyak keuntungan yang akan kita dapat nantinya.”

Yeah, i know. Tapi kau juga harus berpikir jernih kalau ingin berhasil. Benar, kan?” Sean mengangguk setuju lalu menenggak kopinya. Mendadak Jason teringat satu hal. “Bagaimana perkembangan rencanamu dengan Iris?”

“Komunikasi kami baik. Aku sudah berhasil mendekatinya. Tapi sayangnya, aku belum juga bisa mengajaknya ke kafe tempat Gwen bekerja. Kami sama-sama sibuk.”

Jason yang duduk di sofa, memicing. “Berarti kau belum bertemu Gwen?”

“Belum. Aku sempat berhasil mengajak Iris kesana, tapi Gwen sedang tidak bekerja hari itu.” Sean mendesah frustrasi. Berbeda dengan Jason yang merasa lega. Setidaknya ia bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk memberitahu Gwen bahwa Sean sudah mengetahui keberadaannya. Sekaligus menanyakan apa sebenarnya yang terjadi diantara mereka. Tempo hari niatnya itu harus gagal lantaran keadaan Gwen yang sakit.

Lost Love [COMPLETED]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora