PROLOG

3.4K 312 14
                                    


Lantunan lagu indah dari penyanyi bersuara merdu terdengar di salah satu kafe kecil di kota Toronto, Kanada. Gwen Stevanzka adalah nama penyanyi itu. Sudah satu tahun ia menjadi penyanyi disana. Bukan untuk mencari uang. Namun, demi bisa menyalurkan bakatnya.

Banyak pasang mata di kafe itu yang menikmati suara indahnya. Termasuk seorang pria berkacamata hitam yang duduk di meja di salah satu sudut. Netranya menatap lekat sosok Gwen di atas panggung sana. Sesekali ia melirik pada sebuah foto digenggamannya dan tersenyum misterius.

Suara tepukan riuh terdengar kala Gwen menyelesaikan lagunya. Ia turun dari panggung dan berjalan ke meja bar.

Nice performance,” puji Eddy, bartender sekaligus pemilik kafe.

Gwen tersenyum, “Thank you.

“Ada yang ingin bertemu denganmu,” ujar pria itu.

“Siapa?”

“Pria di sudut itu,” Gwen melirik ke arah yang ditunjuk Eddy. Matanya memicing karena tidak mengenali siapa pria itu.

“Dia juga memberikan ini,” lanjut Eddy seraya mengangsurkan sebuah kartu nama pada Gwen, yang langsung diterima gadis berusia dua puluh satu tahun itu. “Kurasa dia seorang produser. Temuilah. Siapa tahu dia ingin menjadikanmu penyanyinya.”

Thank you, Ed.”

“Terima saja, Gwen. Ini kesempatan emasmu,” pinta Eddy sebelum Gwen beranjak. Lelaki itu sangat tahu impian Gwen. Gadis itu membalas dengan senyuman.

Gwen melangkah pelan menghampiri pria itu.

“Permisi, Tuan. Pemilik kafe disana bilang kau ingin bertemu denganku.”

“Ah ya. Silakan duduk, Miss.”

Gwen menarik kursi dan duduk di hadapan pria itu.

Pria itu mengulurkan tangannya, “Perkenalkan. Aku Roy Nakagawa, salah satu produser Star Records.”

Gwen membalas uluran tangannya, “Nakagawa? Kau orang Jepang?” Gwen sedikit bingung karena pria itu sangat fasih berbahasa Inggris.

“Aku keturunan Jepang. Tapi sudah lama tinggal di Amerika. Begitulah.”

Gwen mengangguk paham, “Jadi, ada apa ingin bertemu denganku?”

“Sepertinya kau tidak suka berbasa-basi.” Pria itu terkekeh, “Baiklah. Aku sudah mendengarmu menyanyi tadi. Dan sebagai produser, aku ingin menjadikanmu salah satu artis kami.”

“Maksudmu debut sebagai penyanyi profesional?”

Yes. Perusahaan kami berbasis di New York. Kalau kau setuju, kau bisa rekaman disana. Aku yakin kau akan menjadi penyanyi terkenal di Amerika.”

Gwen tercengang. Amerika? Sudah lama sekali ia ingin menjadi seorang penyanyi. Dan Amerika merupakan tujuannya.

“Kalau kau setuju, kau bisa langsung datang menemuiku di kantor kami di New York. Tapi, sebelumnya kau harus memberikan 5000 dollar.”

Gwen mengerutkan keningnya, “5000 dollar? Untuk apa?”

“Jangan curiga dulu. 5000 dollar untuk tiket pesawat dan akomodasi disana. Kami akan menyediakannya. Dan juga kau bisa mengajak orang terdekatmu untuk menemani selama disana.”

Gwen terlihat berpikir. 5000 dollar. Apa ia punya uang sebanyak itu?

“Aku yakin kau tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, Nona. Amerika adalah surga bagi penyanyi kelas dunia. Dan kau akan menjadi salah satunya.” Pria itu kembali meyakinkan.

Gwen membenarkan dalam hati. Amerika adalah tempat dimana banyak penyanyi favoritnya meniti karir disana. Ia sangat ingin menjadi salah satunya. Lagipula, ini impiannya. Benar kata Eddy. Ini kesempatannya untuk meraih mimpinya sekaligus mimpi ayahnya yang sudah tiada. Ia akan mencari cara mendapatkan uang itu.

“Baiklah. Aku akan segera mengirimkan uangnya.” Jawaban tegas Gwen membuat pria itu diam-diam menampilkan seringainya.

***

Dua pria keturunan Asia memasuki ruangan di sebuah studio di salah satu stasiun TV terkenal di Jepang. Pria yang di depan terlihat masam, sementara yang lain mengikuti di belakang.

Sean Okada, seorang produser yang namanya sudah dikenal seantero Amerika Serikat, menghempaskan tubuhnya pada sebuah kursi di depan meja kaca milik studio tersebut. Ia terlihat lelah karena baru saja menyelesaikan kegiatannya menjadi juri tamu audisi pencarian bakat sebuah stasiun TV di Jepang.

“Kau butuh sesuatu?” tanya pria yang mengikutinya tadi. Jason Cook, sang asisten sekaligus sahabat baiknya.

“Kapan acaranya selesai?” tanya Sean dengan mata terpejam.

Jason mengutak-atik tablet miliknya, “Dua segmen lagi dan kau bisa terbebas.”

Oh God! Kenapa begitu lama?” erang Sean, “Kau sudah siapkan tiket ke New York, kan?”

“Tentu saja. Setelah ini kita langsung kembali ke New York.”

Sean menghembuskan nafas, “Thanks God. Aku muak berada di Jepang.”

Jason yang mendengarnya refleks mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Untunglah saat itu tidak ada siapapun selain mereka disana. Jangan sampai ada yang mendengar gerutuan bos sekaligus sahabatnya barusan. Bisa rusak reputasinya selama ini.

Jason sangat tahu tabiat Sean jika mereka berada di Jepang. Lelaki itu tidak pernah sudi menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, terkecuali urusan mendesak seperti saat ini.

Tepat setelah acara selesai, Sean kembali ke New York. Sepertinya ucapannya tentang keengganannya berada di Jepang tidak main-main. Ia merasakan sesak setiap berada di tanah kelahirannya itu. Dan sekarang, ia sudah aman. Ia sudah menginjakkan kaki kembali di New York, tempat ia meniti karir.

Tepat di depan pintu keluar bandara, Sean menghembuskan nafas lega. Akhirnya, ia terbebas dari perasaan yang mencekiknya beberapa jam lalu.

Welcome back to New York, where my happiness happen,” gumamnya.

Sementara di sisi lain, di tempat yang sama, hanya beberapa meter dari tempat Sean berdiri, Gwen ditemani ibunya baru saja mendarat dari Toronto. Setelah perjuangan mendapatkan 5000 dollar, ia akan mewujudkan impiannya menjadi penyanyi di New York. Untunglah, Eddy berbaik hati meminjamkannya. Awalnya, Gwen menolak. Namun pria itu memaksa. Eddy sangat mendukungnya mencapai impiannya.

“Ibu, kita di New York,” ujar Gwen dengan mata berbinar.

Clara tersenyum hangat dan membelai lembut surai indah anak semata wayangnya, “Semoga kau beruntung disini, Nak.”

Gwen tersenyum sumringah. Ia menengadahkan kepalanya menatap langit kota New York yang cerah.

Ya, semoga aku beruntung disini.

***

Haii haiii...

Gimana sama prolognya?

Penasaran?

Lanjut nggak nih?

Lost Love [COMPLETED]Where stories live. Discover now