TIGA

1.6K 245 5
                                    


Sean mendelik tajam saat mendapati siapa yang memasuki ruang rawatnya.

Kenapa laki-laki brengsek itu harus ada disini?

Hello, Sean.” Pria itu menampilkan seringainya yang membuat Sean muak.

“Dari mana kau tahu aku disini?” tanya Sean dingin tanpa membalas sapaannya.

“Dari temanmu itu tentu saja.”

Sean menggeram tertahan. Ingatkan dia untuk memberi pelajaran pada Jason nanti.

“Untuk apa kau menemuiku? Meminta uang lagi, heh?” ujar Sean sengit.

Saat itulah Jason masuk untuk mengambil tas milik Gwen.

Sean langsung menyerangnya, “Kenapa kau memberitahu bajingan ini dimana aku berada, Jas?!”

“Aku tidak memberitahunya. Aku saja baru tahu dia ada disini.” Melihat Sean yang sepertinya tak memercayainya Jason kembali meyakinkan, “Sungguh, aku tidak tahu.”

“Hei, orang tua, kenapa kau bisa ada disini, huh?” lanjut Jason beralih pada pria itu.

“Jaga bicaramu anak muda. Dan itu bukan urusanmu.”

“Kalau kau ingin meminta uang, aku tidak akan memberikannya. Jangan harap!” berang Sean.

Jason diam-diam keluar membawa tas milik Gwen.

“Oh. Ayolah. Kenapa kau ketus sekali pada pamanmu? Kita baru saja bertemu. Apa kau tidak merindukanku?”

Hell, no!” teriak Sean menahan geram. Bertemu laki-laki itu selalu membuat kepalanya mendidih. Roy Nakagawa. Orang yang ia benci seumur hidup. Bahkan ia tak sudi menyebut lelaki itu pamannya.

Roy tergelak. “Aku murni ingin menjengukmu. Untuk masalah uang kau tenang saja. Aku tidak kekurangan sepeser pun. Aku hanya kasihan padamu. Kau sebatang kara, tidak ada yang memperhatikanmu. Aku satu-satunya yang masih peduli,” ujar Roy yang lebih terkesan mengejek daripada peduli.

“Aku tidak membutuhkan rasa ibamu itu. Pergilah! Kau membuatku muak!”

“Baiklah, baiklah. Aku akan pergi. Tapi aku akan tetap menemuimu lain kali. Kau keponakanku satu-satunya. Mana mungkin aku tidak peduli padamu.”

“Mana mungkin aku percaya itu. Kau hanya peduli pada uangku.”

Roy lagi-lagi tergelak, “Kau sangat pintar, Nak.”

“Cepatlah keluar! Kalau tidak, aku akan memanggil sekuriti untuk menyeretmu.”

“Kau sungguh menakutkan.” Roy pura-pura bergidik. Ia berbalik untuk pergi. Namun, sebelum keluar ia sempat mengucapkan salam perpisahan sambil tersenyum misterius.

“Sampai jumpa...Mr. Okada.”

Sampai pintu itu tertutup dari luar, Sean masih menahan kekesalannya. Ia sangat tahu maksud pria tua itu menyebut nama belakangnya dengan penuh penekanan. Sean sudah tidak menganggap keluarganya ada.



***


Setelah pamannya pergi, Sean seorang diri di kamar rawatnya. Ia bertanya-tanya dalam hati, kemana perginya Gwen? Sean masih merutuki sikap bodohnya yang mencium Gwen sembarangan. Ia ingat wajah Gwen yang memerah sebelum pergi. Gadis yang sangat polos. Ia harus meminta maaf segera saat Gwen datang nanti.

Beberapa jam Sean menunggu kedatangan Gwen di kamarnya, namun gadis itu tak datang juga. Sean merasa aneh. Ia bertanya pada Jason yang sedang duduk di atas sofa.

“Apa kau melihat Gwen?”

Jason mengalihkan pandangan dari televisi, “Gadis yang kau tolong itu?”

“Ya.”

“Oh. Dia sudah pergi.”

“Pergi? Kemana?”

Jason mengangkat bahu, “Dia bilang dia ingin menghampiri ibunya.”

“Ah, ya. Dia juga membawa tasnya.” Lanjutnya.

Sean membelalakkan matanya. Ia menoleh ke arah samping tempat tidur, tempat Gwen dan Clara menaruh tasnya sebelumnya. Namun, benda itu tak ada disana. Jadi benar mereka pergi? Apa Gwen benar-benar marah padanya?

“Dia tidak mengatakan apa-apa lagi padamu?”

Jason menggeleng.

“Kenapa kau tidak mencegahnya, bodoh?!”

Jason terperanjat, “Hei, kenapa kau marah padaku?”

“Aku tidak mau tahu. Cepat cari Gwen!”

“Aku harus cari dia kemana?”

“Cari di sekitar rumah sakit ini, bodoh!”

“Baiklah, baiklah. Dan berhenti mengataiku bodoh.” Jason mengumpat sebelum menutup pintu dengan kesal.

Jason mencari gadis yang Sean cari ke seluruh penjuru rumah sakit. Namun, ia tak menemukannya dimanapun. Lagipula, Jason merasa bingung. Untuk apa Sean mencari gadis itu? Bukankah urusan mereka sudah selesai? Atau belum?

Karena tidak menemukan apa yang ia cari, Jason kembali ke kamar rawat Sean. Disana Sean sudah menyambutnya dengan tatapan tanya.

“Mana?”

“Aku tak menemukannya dimanapun.”

“Apa?! Bagaimana kau ini?! Kau sangat tidak becus!”

Jason memutar bola matanya, malas. “Dia memang tidak ada di rumah sakit ini. Mungkin dia sudah pergi. Lagipula, untuk apa kau mencarinya?”

“Dia penyanyi yang sangat aku inginkan.” Lirih Sean.

Lebih dari penyanyi yang ia inginkan. Sean merasa hatinya sudah tertambat pada Gwen, gadis yang ia tolong. Padahal baru beberapa jam ia bersama gadis itu tapi Gwen sudah pergi. Apa Gwen marah padanya karena ia menciumnya?

Sean merutuki kebodohannya. Pastilah gadis itu marah dicium oleh lelaki yang baru ia temui beberapa jam lalu memutuskan pergi.

Sean memutuskan untuk mencari Gwen sendiri. Kalau Jason tidak bisa menemukannya, maka ia sendiri yang akan mencarinya. Gadis itu bilang ia bukan asli New York. Pasti dia belum jauh.

Sean mencabut paksa jarum infus di lengan kirinya dan hendak beranjak namun harus terhenti ketika merasakan nyeri di perutnya teramat sangat. Lukanya masih belum sembuh benar.

Jason yang melihat sahabatnya meringis, terkesiap, “Hei, kau mau kemana?”

“Biar aku mencarinya.”

“Lukamu belum sembuh benar.”

“Tapi aku harus menemukannya, Jas.”

“Ya, tapi kau harus menunggu sampai lukamu sembuh dulu baru kau boleh mencarinya. Aku berbicara dengan dokter yang menanganimu dan dia bilang kau boleh pulang ketika lukamu sudah sembuh. Kau harus fokus pada kesembuhanmu dan kembali bekerja. Jangan sampai perusahaanmu terbengkalai.”

Sean menghela napas. Perkataan Jason ada benarnya. Tapi Sean tidak tenang. Ia harus menemukan Gwen, meminta maaf padanya lalu menjadikannya penyanyi di perusahaan miliknya. Namun, ia harus sedikit bersabar. Ia harus menunggu sampai lukanya pulih lalu setelah itu mencari Gwen ke seluruh kota New York.

Tapi, apakah saat itu Gwen masih ada di New York?

***

Lost Love [COMPLETED]Where stories live. Discover now