22

14.1K 1.5K 345
                                    

Aku terkejut hingga melompat dari tempatku duduk. Napasku terengah. Setelah mengerjap beberapa saat untuk menetralkan pandangan yang tiba-tiba kabur, aku duduk merapat pada tembok.

Tidak. Tidak ada keajaiban. Aku masih tidur di lantai lorong apartemen yang dingin dan lembab. Tenang saja. Kau pikir aku akan tiba-tiba terbangun di dalam kamar yang hangat karena suatu sebab, iya kan?

Kau terlalu banyak menonton film. Ini kenyataan, teman. Di dalam dunia nyata tidak ada keajaiban. Walau di dalam hati aku berpikir Cattleya akan memberiku ampunan dan menyuruh preman-preman bertubuh gorila itu mengangkatku ketika aku tidur tadi.

Nope. Hidup tidak bisa seindah cerita Disney.

Setelah kuraba jam di pergelangan tangan, aku baru tahu kalau seseorang mencuri jam tanganku. Aku menatap marah pada anak-anak kecil yang berdiri menontonku di sisi lain lorong.

"Aku tidak akan meminta jam itu lagi. Kalian bisa mengambilnya kalau mau. Aku hanya tanya ini jam berapa?"

"Jam kau harus pergi dari sini, Bedebah!" Itu suara perempuan yang kurasa wajahnya seburuk lantai koridor ini.

"Bagus," kataku sambil berusaha berdiri. Tulang punggungku bergemeretak. Saat kucoba untuk meluruskan punggung, ruas tulang belakangku berbunyi seperti ranting kering yang diinjak anak gajah. Semoga aku tidak terkena rematik setelah ini.

Tanganku menyentuh sebuah benda yang sangat panas di sampingku. Aku mengaduh sambil melihat benda itu. Satu cangkir besar cokelat dengan marshmallow di atasnya.

"Cattleya," ucap bibirku pelan. Memangnya siapa lagi yang memberiku minuman ini kalau bukan Aku tersenyum. Dia mengasihaniku. Gadis itu mencintaiku. Tidak ada yang lebih baik dari ini.

Kusesap cokelat manis itu dengan rakus. Mulutku terbakar, tenggorokanku terbakar. Siapa peduli? Memangnya ada yang lebih enak dari cokelat dari gadis yang kucintai?

Kau tahu bagaimana efek cokelat untukku? Cokelat ini memberiku harapan. Dia juga mencintaiku. Pasti. Kalau tidak, buat apa dia memberiku cokelat ini?

"Cattleya, kumohon, beri aku kesempatan." Suaraku pelan berbisik pada pintu. Tapi aku tahu seseorang di dalam mendengar jelas ucapanku karena aku mendengar suara dari dalam sana.

"Cattleya, aku tahu kau mendengarku. Kalau armadillo berambut ungu itu menghalangimu, katakan saja, aku akan mendobrak pintu ini dan membawamu pergi."

Kupikir ucapanku seperti mantra karena seketika aku mendengar suara kunci yang diputar dan pintu yang dibuka. Aku bisa mencium aroma lembut dari dalam apartemennya. Harapanku terkabul.

Gadis berambut ungu menampakkan wajahnya di depan pintu. Aku menelan ludah.

"Apa kau bilang? Kau tidak bisa menemukan sebutan yang lebih bagus daripada armadillo berambut ungu?" Wajah dan kata-katanya masih sedatar tadi.

"Eh, bagaimana kalau burung unta berambut ungu?"

"Burung unta?"

"Atau kelinci ungu?"

"Ugh, burung unta terdengar lebih baik," ucapnya sambil meniup permen karet sampai meletus. Cipratan liurnya meledak hingga ke wajahku. "Hey, dengarkan aku, Winni The Pooh, Itu ada Machete. Dia tidak bisa bicara karena gengster di Juarez memotong lidahnya. Kau tahu bagaimana Juarez?" Dia menunjuk laki-laki berwajah Mexico dengan tubuh besar penuh tato di ujung koridor. Kelihatannya laki-laki itu sedang membersihkan langit-langit koridor.

Aku menggeleng.

"Yah, kau pasti tidak tahu, Bocah kaya. Kau aman di dalam pelukan ibumu sejak kecil."

A Perfect Hollow (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang