13

10.5K 1.2K 31
                                    

Hai, semua!

Setelah lama hibernasi di cerita ini karena rusuh sama keluarga Syailendra, sekarang saya lanjutkan cerita ini langsung 2 part biar kalian bisa tahu siapa sebenarnya Adam Rockwood. Soalnya nantinya Adam akan bertemu dan ngobrol sama Glacie. Hihihi...

Yuk tengok aja ceritanya Adam sekarang!

Udah, jangan rebutan. Saya masih punya banyak stok cowok ganteng kok. Hihihihi...

Salam sayang,

Honey Dee

***

Hari ketiga begitu buruk.

Aku benar-benar seperti idiot dengan hidup yang tidak jelas. Tidak ada yang bisa menyenangkanku. Terutama setelah kejadian dengan perempuan berambut merah itu.

Akhirnya, aku berdiri untuk menghajar kekeraskepalaanku.

Aku menelepon Dhaniel.

"Hei, man! Kau di mana? Holy seperti orang gila." Suara Dhaniel terdengar ceria. "Cattleya juga," bisik Dhaniel dengan suara dibuat-buat.

Jantungku seperti berhenti berdetak mendengar nama itu disebutkan.

"Dia kenapa?" Aku menelan ludah.

"'Dia' siapa? Holy tidak ..."

"Cattleya," teriakku kepadanya.

"Easy, Man! Apa masalahmu?" Bajingan itu tertawa. Dia menggodaku. Sialan!

Aku berasa pada mode pembunuh sekarang. Pembunuh dengan kemaluan gatal, maksudku. Aku sedang tidak ingin basa-basi sial dengan siapapun, bahkan sahabatku sendiri.

"Maaf," kataku pelan. Berusaha terdengar bisa mengendalikan diri.

Dhaniel berdeham. "Dia berkali-kali bertanya kepadaku apa kau betul-betul tidak menyukainya."

Adrenalinku seperti menyembur keluar. Kugenggam telepon dengan erat sampai tanganku kebas.

"Kukatakan kepadanya kalau kau memang seperti itu. Tapi kau adalah yang terbaik di sini." Dhaniel terkekeh-kekeh. "Apa sudah cukup aku menjilatmu?"

"Kau serius?"

"Kenapa kau tidak ke mari dan tanyakan sendiri kepadanya?"

Bertanya kepadanya? Menodai nama Adam Rockwood, Sang Penakluk?

Tidak. Terima kasih.

"Masih banyak yang harus kuselesaikan," kataku penuh kebohongan

Dhaniel terbahak-bahak di telepon. "Ayolah, Adam. Kau tidak bisa terus-terusan makan pizza pesanan sambil bermain game online. Dewasalah!"

Kalau dewasa adalah pilihan untuk menghadapi setumpuk konsekuensi buruk, aku memilih untuk berhenti menjadi dewasa. Menjadi bocah besar sudah cukup menyenangkan.

"Aku akan pikir-pikir lagi."

"Hei, selagi kau pikir-pikir, mau kuceritakan sesuatu?" Aku bisa mendengar Dhaniel menjilati bibirnya, kebiasaannya jika sedang bersemangat.

"Apa itu?"

"Dia sekarang memakai kemeja yang maskulin dan celana panjang. Kau bisa bayangkan, Ellen Degeneres dengan wajah Latin yang menggoda dan dada yang, fiuh... Kau tahu, Adam, aku yakin seisi kantor sedang basah sekarang. Jangan tanya bagaimana denganku. Aku baru saja mengganti celanaku."

Dhaniel sialan itu mengucapkan kalimat terakhirnya dengan berbisik.

"Fuck!" Aku berseru penuh kekesalan.

"Tidak. Tidak, Adam. Salah. Bukan fuck, tapi fuck yeah."

Kau tahu, sifat apa yang sangat kubenci?

Aku benci iri. Aku sangat benci sifat itu. Aku benci menjadi iri kepada apa yang dimiliki orang lain. Jika rasa iri itu datang, aku seperti menelan sebuah bola baseball yang penuh duri, lalu aku tidak bisa menelannya dengan baik, tapi aku juga tidak bisa menemukan air untuk membantuku menelannya. Jadi, yah, rasanya sakit sekali.

Ya, tepat sekali! Seperti yang dilakukan Dhaniel 'si keparat' Malloy, sahabatku tersayang yang sudah membuatku iri setengah mati. Dia bisa menghabiskan waktu dengan Cattleya sementara aku... Kurang menyedihkan apa aku ini?!

Apa tindakanku?

Aku mengambil tindakan paling lembut yang bisa kulakukan, membanting telepon ke lantai sampai hancur berantakan.

Aku masih bisa melihat Dhaniel menertawaiku.

Kuinjak dan kutendang puing telepon di lantai. Aku baru berhenti saat saat kakiku menginjak pecahan tajam. Aku melolong, lalu menendangi lagi sisa pecahan lainnya tanpa peduli telapak kaki yang berdarah.

Terkutuklah kau, sahabatku!

Efek dari kalimat Dhaniel sangat hebat.

Dhaniel bisa mengalahkan Nelson Mandela. Kalimatnya memengaruhiku seharian. Aku tidak bisa berpikir apapun selain berita terakhir yang dikatakannya. Di dalam kepalaku terbayang gadis itu berjalan di lantai Rockwood building, lantaiku, dengan kakinya yang indah.

Apa masih ada umpatan yang belum kusebutkan?

Sahabat terbaikku telah membuat kepalaku penuh dengan gambar gadis Latin dalam celana panjang, tersiksa dengan tuntutan lelaki di dalam celanaku dan sebuah nama yang begitu ajaib. Cattleya.

Kuhabiskan malam ini dengan berjalan mondar-mandir sambil mengutuki Dhaniel Malloy. Dia yang perlu disalahkan untuk semua yang terjadi hari ini.

***

A Perfect Hollow (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang