"Kangen, ya?" Shasa bergerak mendekati Evan, menepuk-nepuk punggung Evan untuk membuatnya merasa lebih nyaman. Tanpa sadar, Evan menarik Shasa dalam pelukannya, meluapkan perasaannya dalam pelukan itu dan menangis keras.

"Gue cuma berharap, mereka datang sekali aja dalam mimpi gue. Gue mau liat senyum mereka lagi."

🐭🐰🐭🐰🐭🐰🐭🐰

"Yuk, turun! Kita udah sampai!" ajak Evan dengan tangan terulur. Dia bahkan sudah membukakan pintu mobil untuk Aga, tapi adiknya itu tidak juga bergerak dari tempatnya. Pandangan Aga mengedar ke sepenjuru tempat itu. Keringat dingin mendadak keluar, dia mulai tidak nyaman dengan semua itu. Shasa yang belum keluar dari mobil akhirnya menurunkan kaca mobilnya, menatap ke arah yang sama seperti yang tengah Aga lihat. Dia akhirnya mengerti kenapa Aga bersikap seperti itu.

"Tenang aja. Ada Abang sama kakak! Kalo Aga takut, anggap aja mereka Bunny raksasa, atau badut?"

"Tapi nanti janji digandeng terus tangannya, ya?"

"Iya."

"Berdua?"

"Iya. Yuk?" Aga menimbang-nimbang lagi. menatap Shasa dan Evan bergantian sambil memelintir telinga Bunny sampai akhirnya dia mengangguk dan meraih tangan Evan yang sejak tadi terulur padanya. Shasa tersenyum melihat Evan bisa menenangkan Aga tanpa obat-obatan lagi. Dia segera menyusul keduanya dengan tas ransel bergambar doraemon yang penuh dengan camilan Aga.

"Ragunan itu tempat apa, Bang? Kok banyak gambar binatangnya?"

"Rumahnya binatang. Nanti Aga bisa lihat gajah, harimau, ular, penguin, banyak deh."

"Oya? Wah, asik!" Aga melompat-lompat kesenangan, persis anak kecil dengan tubuhnya yang sudah remaja. Orang-orang banyak yang menatap Aga, merasa aneh dengan sikap Aga. Namun, tidak ada satupun yang mengeluarkan sindiran pedas untuknya dan Evan sangat bersyukur untuk itu, jadi dia tidak perlu menjelaskan kondisi Aga pada mereka.

"Pertama kita ke mana dulu?" tanya Shasa kebingungan. Di tangannya terdapat peta khusus tempat ini yang dia minta langsung dari petugasnya. Dia menunjukkannya pada Evan, meminta pertimbangan Evan.

"Ini aja dulu kali, ya? Lebih deket." Evan menunjuk jalan yang dia maksud dengan telunjuknya, tapi sebelum Shasa mengiyakan saran Evan, lelaki itu sudah menggandeng tangan Aga dan berjalan menuju tempat yang dia maksud.

"Van, jangan ke sana. Yang lain aja, ya?"

"Kenapa? Bagus, kok."

Perdebatan kecil terjadi di antara mereka meskipun kedua kaki mereka terus melangkah menyusuri jalan hingga tanpa sadar mereka sudah berada di depan kandang ular. Shasa langsung bergidik ngeri melihat ular bertubuh besar dan panjang itu melata sambil menjulur-julurkan lidahnya.

"Wah, kulitnya bagus, ya? Kayak ikat pinggang yang Abang punya. Tas Tante Genit juga ada yang kayak gini, kan?" tanya Aga, tiba-tiba teringat dengan dua barang bermotif sama seperti kulit ular yang tengah dia lihat.

"Iya, bener. Ingatan Aga kuat, ya? Padahal kita berdua Cuma pernah pakai itu sekali."

"Tapi Bang, kalo kulitnya Abang ambil buat bikin ikat pinggang sama tas, mereka harus dibunuh dulu, dong? Nanti kalo punah kayak dinosaurus gimana?"

"Nah, makanya itu ada penangkarannya sekarang. Terus pengrajin tas sama ikat pinggang sekarang pakai kulit ular yang mati secara alami, bukan dibunuh cuma buat diambil kulitnya aja. Selain itu juga ada yang imitasi."

"Tapi masih banyak juga 'kan yang sengaja dibunuh buat ambil kulitnya? Aga pernah liat di tv."

"Iya. Itu orang-orang yang gak bertanggung jawab, tuh. Kalo ketahuan bisa dipenjara."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 18, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NEVERLANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang