Aga : 14

1.1K 86 15
                                    

"Bang, kita mau ke mana?" tanya Aga entah sudah keberapa kalinya sambil menatap ke kanan dan ke kiri. Jalanan yang mereka lalui benar-benar asing. Seingatnya, Aga tidak pernah melewati jalanan ini. Di samping Aga, Shasa tersenyum simpul, tidak sabar menunggu reaksi Aga saat tahu tempat yang akan mereka datangi.

"Abang, kata Miss Anna tuh kalo ada orang tanya harus dijawab. Namanya menghargai yang tanya." Evan tergelak mendengar kata-kata Aga yang meluncur begitu saja selancar jalan tol. Shasa bahkan langsung terbahak mendengar kalimat Aga.

"Kita mau ke Ragunan."

"Apaan, tuh? Mall baru? Kebun buah kayak yang waktu itu?" tanya Aga penasaran. Evan dan Shasa kompak menggeleng. Evan bahkan menatap Aga yang tengah duduk di bangku belakang lewat kaca di depannya dengan tatapan sendu. Merasa bersalah karena hanya bisa mengenalkan Aga pada Mall. Tanpa bantuan Mario, Aga mungkin tidak akan pernah mengetahui kebun buah itu seperti apa.

"Udah, tunggu aja. Pokoknya seru banget di sana. Kita bisa bermain sambil belajar."

Mendengar itu, Aga langsung bersorak senang. Dia mulai bernyanyi mengikuti alunan lagu yang diputar di dalam mobil itu. Shasa dan Evan sesekali juga ikut menyanyikannya sambil mengenang lagu-lagu masa kecil mereka. Aga bahkan sampai bersorak saat lagu kesukaannya, ambilkan bulan, mulai mengalun lembut. Bersama-sama, mereka bertiga menyanyikan lagu itu dengan nada mereka sendiri-sendiri.

"Bang, tadi Aga mimpi indah loh, sebelum Micin teriak-teriak terus gangguin mimpi indah Aga." Aga melirik Shasa kesal, masih ingat bagaimana teriakan Shasa dan guncangan di tempat tidurnya yang akhirnya membuatnya harus merelakan mimpi indah miliknya. Mood-nya langsung hancur. Dia bahkan langsung menangis. Untung Evan datang dan menenangkannya, lalu mengajaknya bermain.

"Mimpi apa emangnya?"

"Mama sama Papa." Senyum di wajah Evan perlahan memudar. Matanya yang sejak tadi berbinar-binar perlahan meredup, sendu. Namun, sekuat mungkin dia menahan itu semua agar Aga tidak melihat perubahan emosinya.

"Oya? Kayak gimana?" tanya Shasa antusias. Sepertinya dia benar-benar tidak melihat bagaimana ekspresi Evan saat ini. Terang saja, Shasa tidak duduk di samping Evan untuk bisa melihat perubahan ekspresi lelaki itu.

"Mama dateng ke kamar aku, usap-usap kepala aku. Terus Papa juga dateng sama bawain mainan baru, banyak banget. Abis itu mereka ajak aku main bareng di halaman rumah, katanya sambil nunggu Abang pulang biar bisa langsung ketemu. Seru banget mainnya, sayang banget pas Abang baru dateng, Micin gangguin sampe aku bangun. Abang jadi gak bisa ketemu Mama sama Papa deh."

Evan menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang tiba-tiba merebak dan berusaha menuruni matanya. Tangannya mencengkeram erat-erat kemudi mobil hingga buku-buku jarinya memutih. Bahkan, dia berkali-kali menarik napas panjang, berusaha mengontrol segala emosi yang menyeruak.

"Bang, mau pup."

"Eh? Bukannya tadi udah?"

"Iya. Tapi kepingin lagi."

"Ya udah, tahan bentar, ya? Di depan ada pom bensin, kok."

"Cepet, Bang. Udah di ujung!"

Begitu mobil yang Evan kendarai terparkir dengan sempurna di pelataran pom bensin, Aga langsung berlari ke kamar mandi diikuti Shasa yang membawa tissue, sabun cuci tangan dan hand sanitizer untuk Aga. Di belakangnya, Evan tampak berjalan lunglai. Emosi aneh masih menyelimuti perasaannya.

"Kenapa, Van?" Evan menggeleng, mencoba untuk tidak melibatkan Shasa dalam pergolakan emosinya. Namun, tatapan teduh Shasa akhirnya membuatnya menarik napas panjang sebelum air mata bergulir di wajahnya. Evan tiba-tiba menangis dalam diam.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 18, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NEVERLANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang