Kenangan 14: Ingkar Janji

24 0 0
                                    

Aku masih ingat masa-masa manisku dengan Iqbal sebelum akhirnya muncul pertengkaran-pertengkaran kami. Ketika itu Iqbal pernah mengatakan bahwa ia mulai menyukai mata pelajaran sejarah karena aku yang banyak memberinya novel-novel sejarah. Ia juga berangan ingin melanjutkan kuliah di bidang ini.
Kemudian ia bertanya tentang harapanku.
Ketika itu, tidak banyak yang aku harapkan selain dari lulus sekolah dan mengambil jurusan sastra Inggris di kampus pilihanku. Selain itu pulan aku berharap bahwa Iqbal akan berhasil menggapai harapannya, dan tidak pernah lagi terlibat tawuran.
Hal yang membuatku senang ketika itu adalah, Iqbal berjanji bahwa ia tidak akan lagi terlibat dengan aksi kriminal.

Selama itu aku memegang janji Iqbal, seberapa seringnya pun kami bertengkar, aku masih percaya bahwa Iqbal akan selalu menepati janjinya. Sampai akhirnya ketika aku tengah berkumpul di rumah bersama dengan Jay dan Ratih, membuat rujak setelah memetik beberapa mangga muda di halaman belakang, pintu rumahku diketuk, dan aku mendapati Tiara berdiri di sana. Ia kemudian berkata, “Iqbal di kantor polisi Ren, maafin aku.”

***

Aku melihat orang tua Iqbal tengah duduk di ruang tunggu di kantor polisi itu, menunggu kakak laki-laki Iqbal yang tengah berbicara dengan Polisi di ruangan di depannya. “Tante, Om” ucapku menghampiri mereka sambil lalu mencium tangan mereka. “Iqbal kenapa Tante?” tanyaku pada mama Iqbal.

“Iqbal terlibat tawuran lagi,” kata seseorang yang muncul dari belakangku. Ia adalah kakak laki-laki Iqbal yang baru saja keluar dari ruangan polisi itu. “Bentar lagi anaknya dibawa ke sini sama pak Polisi.”

Mendengar hal itu aku hanya bisa menarik napas berat. Aku teringat pada janjinya beberapa bulan lalu. Rasa kecewa yang semula menumpuk dalam hatiku kini semakin membesar.

“Katanya, ada anak sekolahnya Iqbal yang jadi korban perkosaan salah satu anak sekolah yang diserang sama Iqbal sama teman-temannya. Motif tawuran mereka buat balas dendam, dan Iqbal diajak ikut,” ucap mas Tomi, kakak Iqbal.

Ketika itu, tanpa banyak berpikir, aku sudah bisa menebak siapa yang menjadi korban pemerkosaan tersebut, mengingat beberapa saat sebelumnya Tiara tiba-tiba saja meminta maaf padaku. Dan dari beberapa informasi yang aku dapatkan beberapa hari kemudian, ternyata memang benar ialah yang menyebabkan Iqbal ikut lagi tawuran.

Ingatan lain bersama Iqbal yang masih terpatri dalam ingatanku adalah saat di mana ketika itu di kantor polisi, Iqbal muncul sambil digandeng seorang polisi setengah baya. Ia masih memakai seragam sekolahnya ketika itu yang sudah terlihat kotor karena noda tanah dan kusut.

Suaranya yang terdengar sedikit tercekat pun, sampai sekarang terkadang masih menggema setiap kali aku mengingat kejadian itu, “Rena?” begitu, ketika ia mendapati diriku yang berdiri sekitar empat meter dari dirinya.

Aku sendiri, jujur saja ketika itu, tidak tahu harus berkata apa, tidak tahu harus memasang ekspresi wajah yang bagaimana. Kejadian itu terjadi begitu saja, dan perasaan yang muncul dalam dadaku rasanya campur aduk. Aku tidak punya cukup banyak waktu untuk mengatur ekspresiku, untuk mengategorikan ucapan yang pantas aku ucapkan pada Iqbal ketika itu. Bahkan jujur saja, sampai sekarang pun, jika hal yang sama terjadi lagi di masa sekarang, aku tetap akan tidak tahu harus apa.

Keluarga Iqbal memang keluarga berada, bahkan jika dibandingkan dengan keluargaku sendiri, situasi ekonomi keluarganya berada beberapa tingkat di atas kami. Dan mungkin karena hal tersebut, Iqbal tidak pernah punya kesulitan untuk mendapatkan setiap hal yang ia mau. Sebagai anak bungsu di keluarga yang berada, dan memiliki dua orang kakak yang masing-masing juga sudah mapan, bisa dibilang Iqbal sangat dimanjakan oleh mereka, atau lebih tepatnya oleh materi mereka. Namun, jika ditanya tentang hubungannya dengan keluarganya, aku bisa mengatakan hubungan antara mereka kurang baik. Aku tidak pernah melihat ia bermanjaan dengan orang tuanya seperti yang dulu bahkan sampai sekarang masih aku lakukan dengan orang tuaku sendiri.

Dan karena itu pula, rasanya aku tidak lagi terkejut ketika tiba-tiba saja, di tempat itu, Iqbal ditampar keras oleh papanya sampai anak itu sedikit terhuyung ke samping, sambil disumpah serapahi.

Mama serta kakaknya pun tidak banyak membantu selain dari menarik papanya menjauh untuk duduk dan menenangkannya. Selebihnya, mereka berdua pun sama-sama memarahi Iqbal di kantor polisi itu. Aku sendiri, hanya bisa diam, sambil sesekali melirik ke arahnya. Iqbal sendiri, entah karena malu atau memang tidak berani, ia selama itu hanya bisa tertunduk tanpa sedikit pun melirik ke arahku.

Kalau ditanya bagaimana perasaanku ketika itu melihat Iqbal yang habis-habisan dimarahi oleh keluarganya sampai pipinya memerah karena habis ditampar keras, mungkin aku akan menjawab bahwa perasaan kesal dan marah yang semula bercokol dalam dadaku malah hilang dan terganti oleh rasa kasihan.

Singkat cerita ketika itu Iqbal segera dibebaskan karena katanya terbukti hanya dibawa-bawa saja oleh teman-temannya, dan tidak membawa senjata apa pun dalam tasnya. Yang aku tahu, keluarganya memang cukup berpengaruh dan memiliki banyak kenalan di mana-mana, mungkin juga di kepolisian, sehingga proses pelepasan Iqbal dibanding dengan teman-temannya yang lain lebih cepat diproses. Sebelum dibawa pulang, Iqbal meminta izin pada orang tuanya untuk berbicara empat mata denganku.

Ketika itu Iqbal membawaku ke satu sudut di halaman parkir kantor polisi itu, dekat kantor pos. Ia memegang tanganku sambil meminta maaf. Aku yang ketika itu masih bingung hendak menjawab apa akhirnya hanya bisa diam. Akhirnya aku hanya bisa menyuruhnya untuk pulang bersama dengan orang tuanya. Iqbal yang semula kekeh ingin berbaikan denganku dan terus menerus meminta maaf akhirnya pun mau tidak mau menuruti perkataanku karena aku tidak kunjung menjawab setiap ucapannya.

Aku sendiri, menolak ikut untuk pulang bersama dengan keluarga Iqbal, ketika kakaknya menawarkan tumpangan padaku. Aku memilih untuk pulang menggunakan angkot sampai rumah.
Malamnya, setelah aku banyak termenung dan berpikir, akhirnya aku mulai merasa bulat tekad untuk memutuskan Iqbal.

Seperti yang sudah aku bilang sebelumnya, Iqbal adalah anak bungsu di keluarganya. Semasa kecil ia diasuh oleh nenek dan kakeknya di Jakarta. Orang tuanya datang berkunjung hanya sesekali. Semasa kecil ia sering berbuat onar, supaya nenek dan kakeknya melaporkan hal tersebut pada orang tuanya. Lebih tepatnya, ia mencari perhatian orang tuanya dengan berbuat nakal.

Masuk SMP, Iqbal dibawa tinggal bersama dengan keluarga intinya. Namun karena orang tuanya yang sibuk, ditambah umur antara dirinya dengan kedua kakaknya yang cukup jauh, ia jarang terlibat obrolan dengan mereka. Hubungan mereka tidak harmonis. Iqbal akhirnya bergaul dengan teman-teman premannya ketika SMP dulu, dan lagi, untuk mencari perhatian orang tuanya. Semenjak aku berpacaran dengan Iqbal dahulu, entah kenapa tante Dian sering sekali mengundangku ke rumahnya untuk masak-masak dan makan-makan bersama. Hal inilah yang kemudian membuat hubungan Iqbal dan keluarganya semakin dekat.

Kejadian tawuran siang itu kemudian membuatku bertanya, sebenarnya kali ini Iqbal sedang ingin menarik perhatian siapa? Siapa yang membuatnya lagi-lagi terkucil dan merasa kesepian sehingga kembali mendekati orang-orang tidak baik? Dan pertanyaan itu mengantarku pada satu jawaban, aku mulai sadar bahwa mungkin saja orang itu aku. Dan hal itu adalah salah satu penyesalan terbesar dalam hidupku sampai sekarang.

Dan akhirnya malam itu pun, aku memberanikan diri untuk menelepon Iqbal dan memutuskannya melalui sambungan sinyal ketika itu juga.

Semenjak saat itu, Iqbal terus-terusan menghubungiku lewat SMS, telepon, bahkan menghampiriku ke rumah. Namun aku tidak pernah mau menemuinya. Mungkin ketika itu, alih-alih merasa kesal pada Iqbal, aku hanya merasa kecewa pada diriku sendiri. []

Since Feeling Is FirstWhere stories live. Discover now