Prolog

58 4 0
                                    

Aku tidak pernah betah diam di apartemen setiap musim dingin. Bukan karena ingin menikmati salju di luar, tapi karena biasanya tagihan listrikku akan membengkak karena harus menyalakan penghangat ruangan sepanjang hari, terlebih jika sudah mulai memasuki libur natal, di mana sudah tidak ada lagi seminar dan perkuliahan yang harus dihadiri di kampus, sehingga aku terpaksa diam seharian di kamar.

Maka dari itu, kini di sinilah aku. Perpustakaan Umum British Library di London, salah satu bangunan favoritku selain perpustakaan kampus, di mana aku bisa mencium bau-bau buku tua, dan merasakan kesunyian yang selalu membuat mata berat. Tapi aku tidak datang ke sini hari ini untuk belajar ataupun tidur. Bukan. Dua jam perjalananku dari Oxford tidak akan aku gunakan hanya untuk bermalas-malasan.

Namaku Rena Haliman, mahasiswa master linguistik di Universitas Oxford tahun angkatan akhir yang tengah menyusun tesis, dan sekarang tengah mengetik bab terakhir cerita ini pada notebookku.
Sebenarnya sedari awal aku menulis cerita ini, aku sama sekali tidak memiliki alasan. Hanya saja, setelah menerima undangan grup reuni SMP beberapa bulan lalu di Line, ingatanku jatuh pada seseorang. Seseorang yang kini jejaknya hilang entah ke mana seolah di telan bumi.

Jujur, aku rindu padanya. Ingin tahu kabarnya. Ingin tahu apa kesibukannya sekarang. Hanya saja setelah berusaha mencari dirinya beberapa tahun lalu, aku mulai menyerah, sekalipun rindu itu masih sering menggelayut dalam benakku seperti air pada awan kumulus.

Aku rindu pada Iban, sebutan untuk orang itu, teman SMPku, pelukis masa lalu paling hebat.
Dan menuliskan cerita tentangnya sudah cukup membayar rasa rinduku padanya.

***

Since Feeling Is FirstWhere stories live. Discover now