Part 7

2K 469 22
                                    

Reifan menghirup udara pagi yang segar sambil berolahraga lari. Sepanjang jalan ia disuguhi pemandangan yang menakjubkan. Awan yang bercahaya merona kemerahan dan hamparan padi yang mulai menguning. Tuhan menciptakannya dengan begitu indah. Bibirnya menyungging sebuah senyuman. Ia akan merindukan pemandangan ini. Di Jakarta sudah tidak ada, hanya ada gedung-gedung yang menjulang tinggi. Deru napas semakin kencang saat pria itu berlari. Dengan mengenakan t-shirt pas ditubuhnya, celana pendek serta sepatu olahraga. Ia nampak sangat menawan. Apalagi jika tersenyum, lesung pipinya sangat jelas.

Beberapa orang sudah bangun untuk pergi bekerja di ladang. Matanya memincing saat melihat sosok yang dikenalinya. Pria yang belum terlalu tua itu sedamg berjalan di depannya. Sontak ia memanggilnya. Reifan segera menghampiri.

"Mang Darma," ia bersalaman.

"Pagi-pagi udah bangun, Den?" tanyanya sopan.

"Iya, olahraga. Mau kerja Mang?" Reifan berbalik menanyakan.

Mang Darma mengangguk, "iya,"

"Bisa kita ngobrol sebentar,"

"Boleh, kita ngobrol di warung itu ya." Mang Darma menunjuk warung yang terbuat dari bilik bambu. Warung itu biasa sudah buka pagi-pagi. Warung yang terbuat dari bilik bambu. "Jam segini gorengannya masih panas," ucapnya sembari berjalan menuju ke warung dengan senang. Reifan tersenyum. Perawakan Mang Darma gemuk dan tingginya sekitar 160 cm. Mereka duduk di atas kursi panjang yang terbuat dari batang bambu. "Bi Ine buatin kopi ya, Den Reifan mau?"

"Kopi apa, Mang?" tanya Bi Ine dihadapannya yang dibatasi nampan-nampan gorengan dan jualan lainnya.

Reifan tersenyum ramah pada Bi Ine. "Boleh, Mang."

"Kopi susu dua ya, Bi." Mang Darma menoleh, "mau ngobrol apa?" tanyanya beralih pada Reifan seraya tangannya mengambil goreng pisang dan mulai menikmati.

"Apa.. Eum.." Mang Darma menunggunya melanjutkan kata-kata dari bibir Reifan sambil mengunyah goreng pisang. "Gimana keluarga Pak Imran?" wajahnya tersirat keraguan saat bertanya.

"Mamang nggak tau jelasnya, Den." Mang Darma menghela napas, "sejak kejadian itu banyak orang yang menggunjing keluarga Pak Imran. Saya kasihan dengan keluarganya. Warga sini seolah udah nggak ngehargain Pak Imran. Padahal Pak Imran baik hati dengan warga yang nggak mampu. Setiap panen pasti warga dikasih. Kemarin tambak milik Pak Imran ada yang ngeracunin. Semua ikan mati padahal siap dijual. Bisa dihitung berapa kerugiannya. Saya jadi kasihan, apalagi ada gosip buruk yang beredar tentang Zhavira."

Sontak hati Reifan mencelos. "Apa Mamang nggak curiga kalau ada yang nggak suka sama keluarga Pak Imran?"

"Nah! Itu dia!" ucapnya dengan nada tinggi. Reifan sampai terlonjak kaget. Gorengan yang dimulut Mang Darma sampai keluar-keluar. "Maaf, Den." Ia mengelap bibir dengan punggung tangannya. "Saya curiga ada yang iri sama Pak Imran. Ini saya juga sedang menyelidikinya. Tapi saya curiga sama Mang Parman."

"Mang Parman yang ngebantuin saya itu, Mang?"

"Iya, Den. Itu kamu kenal dimana?"

"Waktu saya ke warung ketemu dia. Terus kata dia kalau butuh bantuan bilang aja ke dia. Pas saya lagi nyari orang buat menunggu barang-barang dari toko ketemu dia lagi terus minta bantuan dia. Soalnya saya nggak tau jelas alamat disini."

"Eum begitu, Mang Parman terkenal dengan akal piciknya, Den. Makanya pas liat dia ada di rumah kontrakan perasaan saya udah nggak enak."

"Ini kopinya, Mang, A," sela Bi Ine tersenyum malu-malu pada Reifan. Usianya sudah 40 tahunan.

"Bi, iya kan kalau Mang Parman orangnya picik?" tanya Mang Darma meminta pendapatnya pada Bi Ine.

"Iya, bener A. Kemarin dia kesini ngopi ngutang terus. Dan anehnya lagi nggak lama Bu Rumi datang terus mereka pergi berdua. Saya pikir Mang Parman nunggu Bu Rumi deh," ucap Bi Ine.

One More Time  (GOOGLE PLAY BOOK & KBM APP)Where stories live. Discover now