Part 8

2K 455 19
                                    

Tubuh Reifan lemas, berjalan saja hampir jatuh. Kakinya seperti jelly, Mang Darma memegangi lengannya. Ia masih shock dengan syarat yang di ajukan Pak Imran. Menikah dengan Zhavira yang berstatus janda. Gadis itu terkenal dengan sebutan janda kembang. Memang usia Reifan pas untuk menikah. Tapi ia tidak mengenal Zhavira lebih jauh. Bagaimana bisa menikah dengan gadis yang baru ditemuinya?

"Den, bisa bawa mobil kan?" tanya Mang Darma dengan raut wajah khawatir. Ia meringis, Pak Imran sukses membuat anak orang sampai shock. Reifan masih menenangkan diri. Ia menyenderkan punggungnya di belakang mobil.

"Sebentar ya, Mang," ia menarik napas panjang berharap sedikit ada kelegaan. "Yuk," mereka naik ke mobil. Reifan tidak bicara apapun mengenai syarat itu pada Mang Darma. Ia butuh waktu. Mang Darma juga tahu jika pria yang sedang menyetir enggan di ajak ngobrol apalagi membahas syarat yang diberikan Pak Imran. Reifan mengantar Mang Darma terlebih dahulu.

Di rumah kontrakan Reifan mandi malam-malam agar beban dikepalanya plong. Ia mengenakan handuk dipinggulnya. Pria itu menatap lama dirinya di depan cermin. Reifan bingung, apa yang harus dilakukannya? Mendapatkan tanah itu dan membanggakan dirinya di hadapan sang ayah. Dengan cara menikahi Zhavira? Memikirkan itu kembali membuat kepalanya berdenyut nyeri.

"Sepertinya Pak Imran bercanda dengan syarat itu. Besok aku harus menanyakannya lagi. Ya, benar, besok.. " Reifan mengangguk pasti meyakinkan diri bahwa itu hanyalah lelucon. "Sekarang aku harus tidur. Biar jernih pikiranku pas bicara besok."

Di dalam kamar dengan suasana sunyi. Diluar terdengar suara jangkrik. Hawa dingin membuatnya menarik selimut hingga leher. Mata Reifan tidak bisa terpejam. Ternyata otaknya mengkhianati, ia masih memikirkannya. Rasa gelisah menyeruak begitu saja. "Aku benar-benar stres!" umpatnya kesal. Menjelang pagi pria itu masih terjaga. Ia memandangi dinding dengan tatapan kosong. "Aku sudah gila," gumamnya.

Reifan menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Ia melihat jam dinding pukul 06.00 WIB. Dengan tergesa-gesa ke kamar mandi. Ia harus menemui Pak Imran secepatnya. Setelah rapih dengan t-shirt dan celana jeans. Ia mengemudikan mobilnya ke rumah Pak Imran. Sayangnya Pak Imran sudah pergi ke ladang. Ia meminta Ilham untuk mengantarnya ke sana. Reifan berjalan melewati kebun terong dan juga kacang panjang. Dengan jalanan setapak ia harus berhati-hati. Jika tidak pasti akan terjerembab ke ladang.

"Masih jauh?" tanya Reifan dibelakang Ilham.

"Sebentar lagi, A. Nah itu Ayah," serunya saat melihat Pak Ridwan sedang berdiri di pinggir ladang ubi. "AYAH!!" teriaknya kencang. Pak Imran menengok ke arah suara tersebut. Ia melihat Ilham serta Reifan. Mereka segera mendekati. "Ini A Reifan mau ketemu sama Ayah. Jadi aku anterin kesini," ucapnya. "Ilham pulang dulu mau berangkat sekolah." Ia mencium tangan ayahnya dan Reifan lalu pergi.

Pak Imran melirik Reifan, pemuda kota yang tampan. Dari perawakannya saja ia bisa tahu jika Reifan bukanlah pria sembarangan. Karena itulah ia mengajukan persyaratan tersebut. Entah kenapa hatinya yakin jikalau Reifan bisa melindungi putrinya sebagai suami. "Mau bicara penting?" tanyanya.

"Iya, Pak." Reifan menjawabnya pasti.

"Kita bicara di saung aja," Pak Imran melangkahkan kakinya di ikuti Reifan menuju saung yang berada di pinggir ladang. Pak Imran naik ke atas bale begitupun Reifan buru-buru melepaskan sandalnya. "Mau bicara apa?"

Reifan duduk bersila, " ini mengenai syarat semalam, itu hanya bercanda kan? Saya sampai nggak bisa tidur memikirkannya." Ia tertawa ringan.

"Itu benar." Tawa Reifan sekejap menghilang dan terperangah. "Kamu bisa memiliki rumah dan tanah itu dengan syarat harus menikahi Zhavira. Saya rasa kamu udah mendengarnya semalam."

"Ta.. Ta.. Pi..." sela Reifan tidak bisa berkata-kata.

Tatapan Pak Imran mengarah ke depan ladangnya. "Sebagai seorang ayah yang paling sulit adalah menjaga anak perempuan. Selama ini bukannya saya tuli atau nggak tau apa yang terjadi. Ketika mereka membicarakan Zhavira. Mereka nggak tau kalau hati ayahnya hancur berkeping-keping." Matanya memanas, "saya berusaha untuk sabar dan nggak membalas mereka. Zhavira menjadi janda di umurnya yang masih muda dan itu bukan kemauannya. Tapi takdir.. Dulu saya pernah melarangnya untuk menikah muda. Tapi dia menyakinkan saya kalau dia akan bahagia bersama suami pilihan. Dengan keyakinan itu saya merestui mereka menikah. Lebih baik dinikahkan daripada nanti berbuat yang nggak di inginkan." Pak Imran menghembuskan napasnya, dada sesak sekali. "Menjadi janda lama-lama nggak baik. Banyak orang yang menggunjingnya. Karena itulah saya memberikan persyaratan itu pada kamu." Tiba-tiba setetes air matanya jatuh dan itu dilihat oleh Reifan. Hati pria itu terenyuh. "Apa saya terlalu memaksa? Sebagai orangtua saya menyadari kalau saya sangat egois." Pak Imran tertawa padahal tidak ada yang lucu. Menyembunyikan semua keresahan yang menumpuk dihati dan pikirannya.

One More Time  (GOOGLE PLAY BOOK & KBM APP)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt