Part 4

3K 487 16
                                    

Sejak bangun pagi kerjaan Zhavira hanya melamun. Hati dan pikirannya bertanya-tanya apa maksud dari mimpi tersebut. Berhari-hari tidak hadir tapi semalam ia memimpikannya. Dalam mimpi tersebut Rendi tanpa berkata-kata melainkan hanya tatapan tajam ke arahnya. Zhavira menggigit bibir kebiasaan jika sedang berpikir keras.

Apa arti dari tatapan itu? Apa karena semalam dirinya mengoceh tentang pria lain lalu Rendi marah? Zhavira merasa mengkhianati almarhum suaminya. Rasa bersalah menyerang dirinya. Ia harus menenyahkan pria itu dari otak dan hatinya.

Zhavira sedang duduk diruang tv namun pikirannya tidak fokus pada tv. Pak Imran berdiri di dekat sofa pun tidak dihimbaunya. "Vira.." panggil Pak Imran. Zhavira masih diam saja dengan kening mengerut dalam. "Vira, hasil panen gimana?" masih tidak bergeming. "Vira!" panggilnya dengan nada tinggi. "Mana laporan hasil panennya!"

Tanpa bicara tiba-tiba Zhavira berdiri lalu berjalan menaiki tangga. Pak Imran sampai heran melihat tingkahnya. Tidak lama putrinya turun membawa buku dan pulpen. Ia menyerahkannya pada Pak Imran. Tanpa bicara untuk menjelaskan, Zhavira malah keluar rumah duduk di teras. Pak Imran melongo, ada apa dengan putrinya. Ia melihat laporan berapa kilo hasil panen ubi kemarin. Ternyata Zhavira menulis semuanya tanpa perlu dijelaskan kembali. Ibu Aisha membawakan teh manis dan pisang goreng untuk Pak Imran.

"Ma, Vira kenapa?" tanya Pak Imran.

"Nggak tau, Yah. Dari pagi udah begitu, waktu nganter Jihan juga. Mama sempet nanya berulang-ulang takut dia bawa motor kok seperti melamun begitu kan ngeri." Ibu Aisha menceritakan keanehan Zhavira sejak pagi.

"Apa kesambet ya, Ma. Gara-gara kemarin seharian dikebun?"

"Ayah ini ada-ada aja!" omel Ibu Aisha sambil menepuk pundaknya.

Mereka melihat Zhavira yang terbirit-birit masuk ke dalam rumah. Dengan tergesa-gesa menaiki tangga. Orangtuanya sampai terheran-heran dengan kelakuan Zhavira. Terdengar salam dari luar. Pak Imran beranjak untuk menemui seseorang yang memberi salam. Dan ternyata Reifan.

"Wa'alaikusalam.. Ada apa ya, Pak Reifan?" tanya Pak Imran.

"Jangan panggil saya 'Pak', panggil Reifan aja, Pak Imran." Ia tersenyum ramah.

"Oh, baiklah. Ada apa ya?"

"Ini saya mau minjam tangga mau pasang lampu yang di dalam rumah." Reifan memberitahu kedatangannya.

"Oh, tangga steger ya. Lagi dipinjamkan sama tetangga. Sebentar saya suruh Vira mengambilkannya ya."

"Tangga itu pasti berat pasti putri Pak Imran tidak bisa membawanya," pikirnya. "Saya aja yang bawanya, Pak. Anak Bapak yang menunjukan aja dimana rumahnya."

"Sebentar saya panggilkan Vira nya dulu ya," Pak Imran ke kamar Zhavira. Ia mengetuk pintu tidak ada jawaban.

Di kamar Zhavira duduk di tepi ranjang. "Kenapa dia dateng lagi? Aku udah ikhlasin kalau aku nggak boleh punya perasaan sama dia. Nanti A Rendi marah terus nyekek aku gimana?" ia sedang bermonolog ria sambil mengacak-ngacak rambutnya kesal. Zhavira tidak tahu jika namanya hati tidak bisa dicegah kapan datang rasa suka itu tiba.

"Vira!! Itu gurunya Jihan datang nggak tau mau ngapain," ucap Pak Imran.

Gurunya Jihan ada apa? Mau ngapain? Apa Jihan ada masalah?

Zhavira segera membuka pintu. "Ada apa Yah?" tanyanya.

"Nah, baru dibuka. Tadi ayah panggil-panggil nggak nyahut."

"Guru Jihan yang mana, Yah?" wajahnya khawatir.

"Gurunya Jihan ada di sekolah."

"Tadi kata Ayah..." Zhavira memutar bola matanya. Ia telah dibohongi.

One More Time  (GOOGLE PLAY BOOK & KBM APP)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora