Part 9

2K 474 21
                                    

Zhavira menuruni tangga dengan santainya. Jihan sedang kerja kelompok di rumah temannya. Sebenarnya ia bosan dirumah terus. Bukan orangtuanya melarang Zhavira untuk main keluar rumah tapi ia tahu diri. Gosip itu begitu cepat menyebar. Pasti warga yang melihat akan berbisik-bisik membicarakan dirinya. Ia sangat lelah untuk menanggapi semua itu. Saat hendak berjalan ke meja makan. Obrolan anggota keluarga membuat langkahnya terhenti. Refleks Zhavira bersembunyi di balik dinding.

"Ayah, Ilham malu di sekolah pada ngomongin Kak Vira. Ilham diolok-olok sama temen. Apalagi kata-kata mereka kasar," ucapnya merengek sekaligus kesal. Mereka sedang berkumpul di meja makan. "Aku nggak mau sekolah!"

Pak Imran diam sesaat setelah mendengarnya, "kamu harus tetap sekolah!" tegasnya.

"Tapi ayah.." sanggah Ilham lalu Pak Imran menatapnya tajam. Putra ke 3 nya menunduk takut. "Kak Pram juga pasti sama kan? Banyak yang ngomongin Kak Vira?!" todongnya kembali. Pram tidak membalas baik itu mengiyakan atau menolak. "Ayah, Kak Pram juga sama. Dia juga malu sama sepertiku. Tentang gosip Kak Vira yang digrebek dan juga sebutan janda gatal! Aku mau tinggal dirumah Nenek aja!" air mata Zhavira melintas di pipinya. Ia menggigit bibir dalamnya dengan kencang. Hatinya yang lebih terluka.

Braaakkk

Pak Imran menggebrak meja keras. Aisha dan kedua putranya terlonjak kaget. "Sudah cukup!" bentaknya dengan nada tinggi. "Ilham! Ayah nggak pernah mengajarkan kamu untuk kurang ajar sama kakakmu! Zhavira itu kakakmu! Awas kalau kamu nggak sekolah!" Ancamnya sebelum bangkit dengan marah berjalan ke ruang lainnya. Takut kepergok Zhavira menaiki tangga dengan tergesa-gesa. Di dalam kamar tubuhnya lunglai. Terduduk di lantai. Ia adalah aib keluarga.

"Aku nggak tau harus gimana lagi? Diam bukan berarti aku mengiyakan gosip itu. Menyangkalpun rasanya percuma. Yang membenciku pasti nggak mau mendengarnya. Yang ada malah makin mencemoohku. Apa yang harus aku lakukan sekarang agar gosip itu hilang?" keluhnya seorang diri. Ia mengusap air matanya. Kejadian kemarin membuatnya tersiksa.

"Vira!!" panggil Ibu Aisha sambil mengetuk pintu. "Ada Teh Yuni," ucapnya.

Zhavira menarik napas panjang untuk mengurangi kesesakan di dadamya. "Iya, Ma. Sebentar.." ia keluar dengan menampilkan wajah riang. Ia segera menemui Yuni. Zhavira sudah menganggapnya sebagai kakak. Berhubung ia tidak punya seorang kakak laki-laki atau perempuan. Zhavira anak pertama. Ia melihat Yuni yang duduk di teras rumah membelakanginya. "Teh," panggilnya. Yuni menoleh lalu tersenyum. 'Teteh' panggilan kepada seorang wanita yang lebih tua di Jawa Barat.

"Vira, kita ngobrol-ngobrol.. Yuk.." ucapnya. Yuni teringat kemarin Ibu Aisha ke rumahnya. Wanita paruh baya itu memintanya untuk main ke rumah menemani Zhavira. Setidaknya ada teman mengobrol. Dulu sewaktu Yuni kecil, Ibu Aisha dekat dengannya. Waktu terus berjalan tanpa disadari, kini ia telah dewasa dan telah menikah.

Zhavira mengangguk senang. "Hayuk, kita ke sungai aja, Teh."

"Iya, udah lama kita nggak ke sana ya." Dalam hati Yuni merasa iba. Kenapa ada orang yang begitu kejam pada keluarga Pak Imran? Bisik hati kecilnya. Ia tahu bagaimana selama ini kebaikan Pak Imran pada warga yang lain. Bagaikan susu dibalas air tuba.

"Iya," Zhavira memakai sandalnya lalu menggandeng lengan Yuni. "Kita udah jarang ketemu ya, Teh."

Yuni tersenyum, dimatanya Zhavira seperti masih kecil. "Aku kan udah nikah apalagi sekarang punya anak. Sibuk ngurusinnya, Vira." Ia menikah dengan seorang petani dan mempunyai 1 anak laki-laki.

"Dewa nggak di ajak, Teh?"

"Nggak, sama Neneknya." Mereka memotong jalan dengan melewati ladang untuk lebih cepat sampai di sungai. Jalanan yang hanya muat satu orang mengharuskan berhati-hati setiap melangkah.

One More Time  (GOOGLE PLAY BOOK & KBM APP)Where stories live. Discover now