Part 10

2.2K 465 18
                                    

"APA?!" tanya Reifan terkejut sendiri. "Tadi Bapak bilang apa?" mengulang pertanyaan yang berbeda.

"Saya mau kamu menikahi putri saya malam ini juga."

Pupil mata Reifan melebar, "hah?! Maaf Pak, tadi saya nggak mendengarnya terlalu jelas. Telinga saya sepertinya kemasukan air jadi mendengung waktu bicara seperti itu. Saya memang mau menikahi putri Bapak tapi malam ini juga. Orangtua saya belum tau mengenai ini." Ia menjadi serba salah dan bingung sendiri. Reifan telah gegabah berbicara itu tanpa sadar.

Di belakangnya Ibu Aisha menarik t-shirt milik Pak Imran. Ia berbisik, "sebaiknya bicaranya di dalam. Takut mengganggu orang, kasian Reifan juga keujanan."

Pak Imran memandanginya dari atas sampai bawah. "Kamu masuk dulu," perintahnya. Reifan berjalan melewati Zhavira yang masih mematung ditempatnya. Ibu Aisha masuk ke dalam kamar berinisiatif mencari pakaian ganti untuk Reifan. Kasihan melihatnya bisa sakit.

"Ini, ganti dulu," Ibu Aisha memberikan pakaian bersih milik Pak Imran. Ibu Aisha memang baik hati. Reifan melirik Pak Imran sebelum mengambilnya.

"Pakailah," ucap Pak Imran tahu maksud lirikkan Reifan. Seakan meminta izin untuk mengenakannya. Pak Imran memberitahu dengan menunjuk pintu kamar mandi. Reifan segera ke tempat yang berada di tengah ruangan.

Pak Imran, Ibu Aisha dan Zhavira duduk di sofa menunggu Reifan selesai. Pintu kamar mandi terbuka. T-shirt berwarna hijau toska dan celana pendek pas dipinggangnya.

"Duduklah," ucap Pak Imran. Reifan menuruti duduk di sofa single. Pria yang mengenakan sarung itu menghela napas. "Jadi bagaimana?"

"Saya nggak bisa kalau menikah malam ini juga, Pak. Saya salah dengar jadi asal mengangguk saja. Maaf.."

"Saya bicara seperti itu karena takut kalau besok kamu bisa berubah pikiran," ungkap Pak Imran jujur.

"Nggak.. Saya nggak mungkin berubah pikiran, Pak. Saya janji ..." matanya beralih ke Zhavira yang sedang menunduk. "Pasti menikahinya," ucapnya dengan penuh keyakinan.

Jika hanya dengan ucapan saja sangat diragukan. Mungkin nanti Reifan akan berkelit. "Kita buat perjanjian, malam ini juga. Yang menyatakan kamu nggak akan berubah pikiran untuk menikahi Zhavira."

"Ayah... " sela Zhavira. Ia masih tidak mengerti, kenapa Reifan ingin menikahinya? Cinta? Rasanya tidak mungkin. "Ada apa sebenarnya ini?" tanyanya dengan wajah bingung. Ia seolah seperti keledai yang bodoh.

Pak Imran tidak menjawabnya. Malah mengalihkan pembicaraan. "Sebentar saya ambil kertas dan pulpen. Untuk kamu menulis surat pernyataan." Ia beranjak ke laci meja mengambil alat tulis yang diperlukan. Harus gerak cepat takut calon mantunya berubah pikiran. "Ini tulislah," Reifan menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan satu tarikan. Ia mulai menulis surat pernyataan yang menyatakan bahwa ia akan menikahi Zhavira dalam waktu dekat. "Tempel ini juga," perintah Pak Imran. Reifan mengangga lebar saat melihat materai tersebut. Ibu Aisha ikut tandatangan sebagai saksi.

"Baiklah," ucapnya pasrah lalu menempelkan lalu menandatanganinya di atas materai. "Sudah selesai."

Pak Imran langsung mengambilnya lalu membaca setiap kata demi kata. Ia mengangguk tidak ada yang harus diubah. "Ya udah, kamu bisa pulang sekarang," mengusirnya.

Reifan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Itu... Saya lupa bawa kunci kontrakan, Pak. Boleh saya tidur disini malam ini aja. Di sofa nggak apa-apa."

"Tidurlah di kamar tamu," ucap Pak Imran cepat. "Ma, Vira, kalian tidurlah."

"Tapi Yah," Zhavira angkat bicara kembali.

One More Time  (GOOGLE PLAY BOOK & KBM APP)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum