24 - Bicara pada Hati dengan Hati

En başından başla
                                    

Giliran Feliz yang diselimuti gelisah. Tapi ini yang harus dilakukannya. Menetralkan kembali keadaan antara Gasta, Aimee, dan dirinya nanti. Kembali normal. Feliz harus menemukan cara agar Gasta tidak marah pada Aimee, dan agar Aimee tidak marah padanya, setelah peristiwa pengaduan-pengaduan tersebut.

"Gasta nggak perlu takut... Nggak usah marah. Terutama ke Aimee. Aimee itu sebenernya tujuannya baik, Gas. Bukan pingin jatuhin kamu di mata Kakak."

Suasana kamar semakin terasa hening. Feliz bahkan bisa mendengar bunyi tetesan air yang menetes dari kran kamar mandi Gasta.

"Aimee itu care ama Gasta. Aimee nggak mau Gasta disakiti lagi ke depannya. Terutama ama mereka yang pernah nyakitin Gasta." lanjut Feliz, membelai punggung tangan Gasta dengan lembut.

"Kakak baru sadar, kakak nggak seharusnya nyerocosin kamu kayak kemarin. Tapi Kakak khawatir, Gas, khawatir banget ama keadaan kamu." Feliz meremas jemari Gasta. "Kakak juga nggak seharusnya bocorin kalo sebenernya Aimee yang ngasih tau Kakak soal Gasta dipukulin itu. Nggak seharusnya kakak gitu."

"Kakak nyesel Gas. Maafin Kakak ya?" sesal Feliz tulus. "Kakak tuh sayang banget ama Gasta."

Ikatan batin itu ada. Feliz yakin sekali, sehingga dia berharap adiknya itu bisa mendengar permohonan maafnya barusan.

"Gas? Gasta denger gak sih? Hehe. Nggak kan ya? Udah. Gasta nggak perlu marah. Nggak perlu sedih. Aimee itu peduli ama Gasta. Aimee cuma nggak mau Gasta kenapa-kenapa lagi."

Dibelainya sekali lagi rambut adiknya yang masih terlelap itu, lalu dikecupnya keningnya perlahan.

Feliz beranjak ke sofa panjang di ruangan itu. Dia sudah sangat mengantuk, meski sebenarnya dia ingin sekali untuk tetap terjaga karena bisa saja adiknya itu tiba-tiba tersentak bangun karena nyeri perut atau batuk. Tapi sepertinya rasa kantuknya lebih minta diperjuangkan. Maka tidur adalah pilihan yang tepat.

Sementara itu, yang tidak Feliz ketahui, diam-diam daritadi Gasta mendengar semua ucapan Feliz. Ya, semua. Dari awal hingga akhir. Meski matanya terpejam, kondisi Gasta sadar 100%.

Aimee.

Gasta tidak mengerti apa sebenarnya yang ada di benak Aimee tentangnya. Mengapa dia begitu peduli padanya? Meski hatinya hancur, Gasta mulai menyadari satu hal: ada sesuatu dalam diri Aimee yang berbeda terhadap dirinya. Entah apa, yang pasti ada.

Gasta mendengar dengan jelas semua perkataan Feliz dan daritadi airmatanya sudah ditahannya agar tidak meluap di depan mata kakaknya. Kini, menyadari bahwa kakaknya sudah menjauh darinya, ditumpahkanlah semua keharuan itu tadi. Gasta menangis dengan mata terpejam dan bibir mengatup. Begitu deras airmatanya, menggelinding cepat di pipinya yang halus. Batinnya dipenuhi rasa haru dan kehangatan yang terasa mengalir lembut.

Kakak, dulu kukira cinta terbesarku pada manusia adalah pada Aimee. Tapi, ternyata, cintaku pada Kakak, lebih dari yang terbesar.

***

"Makan yuk."
Gasta menggeleng.
"Udah dateng tuh sarapannya." Feliz menunjuk makanan di meja. Tetap saja Gasta menggeleng.
"Sayurnya kakak yang makan deh, Gasta nasi ama lauknya aja." bujuk Feliz.
"Nggak..." sahut Gasta lirih.
"Makan dong, Gas... Dari kemarin kan kamu belum makan."
"Aku nggak laper, Kak."
"Dikiiiiit aja."
Gasta mendengus kesal. Dipalingkannya wajahnya ke arah lain. Feliz jadi pusing.
"Gasta masih marah ama Kakak?" pancing Feliz, melipat kedua tangannya di depan dada. Gasta menimpali dengan gelengan.
"Terus?"
"Aku nggak marah kok ama Kakak."
"Lantas?"
"Lantas apanya?"
"Kok Gasta diem mulu ke Kakak?"
Gasta kembali diam.
"Tuh, diem kan."
Gasta menghembuskan napas kuat-kuat. Masih dalam kerisauan mendalam akibat ucapan Aimee kemarin.

Aim for AimeeHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin