21 - Pertemuan yang Terulang

Start from the beginning
                                    

Kondisi Gasta berangsur membaik. Namun, seperti biasa dokter masih melarangnya pulang. Feliz jadi lebih bebas meninggalkan Gasta karena tidak terlalu khawatir Gasta bakal kenapa-kenapa. Maka dari itu, sore itu dia putuskan untuk pergi ke luar sebentar mencari angin segar dan cemilan di sekitar rumah sakit.
Melewati kamar tempat Raymond masuk kemarin, Feliz memperlambat langkahnya. Tak disangka, pintu kamar tersebut terbuka dan keluarlah sosok Raymond dari sana, tepat saat Feliz memperlambat langkahnya.

Tidak ada yang kebetulan di dunia ini.

Langkah Feliz terhenti. Dia terhenyak melihat Raymond yang tiba-tiba keluar kamar dengan raut gelisah. Mata Raymond tertumbuk pada sosok Feliz.

"Fel...?" sapanya ragu.
"Oh, hai." balas Feliz, sedikit terkesiap.
"Kok di sini?"
"Mmm... Iya... Kamu sendiri?"
"Deon." jawab Raymond. "Leukemianya kambuh lagi." sambungnya.
"Astaga..." desis Feliz prihatin.
Keduanya tenggelam dalam diam untuk beberapa detik. Masih dalam situasi awkward dan keterperangahan.
"Stress aku Fel." keluh Raymond, melepaskan gagang pintu kamarnya. Dia mulai berjalan mengiringi Feliz. Feliz memandangnya iba. Curhat, bro? tanya Feliz dalam hati.
"Nanti Deon harus radioterapi lagi. Dadakan pula. Ngurus administrasinya itu loh, ribet." imbuh Raymond lagi. Feliz tak dapat berkata-kata. Mereka berdua berjalan menjauhi kamar Deon, menuju pintu keluar rumah sakit.
"Kamu mau kemana Fel?"
"Cuci mata aja, hehe." jawab Feliz singkat.
"Siapa yang sakit?"
"Saudara." dusta Feliz, menutup-nutupi agar kabar sakit adiknya tidak terbongkar.
"Keluar, Fel?"
"Iya kayanya. Cari jajan. Laper nih."
"Aku tau tempat yang enak. Nggak jauh dari sini. Aku tunjukin ya?" tawar Raymond.

Kalau, kalau saja ini sebelas tahun lalu, Feliz pasti sudah mencak-mencak kegirangan ditawari seperti itu. Sayangnya, waktu sudah melesat jauh. Meski, masih ada sisa-sisa perasaan soal Raymond di hatinya, yang entah mengapa waktu bahkan tak dapat menghilangkannya.

"Boleh. Kafe?"
"Semacam sih, tapi lebih kaya angkringan gitu."
"Yuk."

Dan, seperti digiring oleh semesta, pergilah mereka berdua; berjalan kaki, karena tempatnya tidak jauh dari situ menurut Raymond.

***

Atmosfer angkringan itu terasa ringan, bahkan terasa akrab bagi Feliz. Entah mengapa. Feliz enjoy saja dengan segelas jus jeruk dan sepiring pancake coklat yang telah dipesannya sementara Raymond di depannya duduk termangu memandangi cappucino hangat pesanannya.

"Hei." panggil Feliz. "Ngelamun." tegurnya.
"Aku pusing, Fel. Huh." timpal Raymond, nafasnya memburu.
"Diminum dulu." Feliz menunjuk pesanan Raymond dengan dagunya karena kedua tangannya memegang garpu dan pisau.

Raymond mengiyakan. Dia menyeruput cappucinonya. Kemudian, dia keluarkan sebatang rokok dan korek api.

"Kamu ngerokok?" seru Feliz tertegun.
"Kenapa?" sahut Raymond sekenanya, sedikit heran dengan pertanyaan Feliz. Dia menyalakan rokoknya, lalu mulai mengepulkan asap dari mulutnya. Wajahnya jadi tertutup asap.
"Nggak apa sih. Kaget aja. Soalnya kirain orang kaya kamu nggak ngerokok gitu." tandas Feliz apa adanya.
"Judgemental ih." cetus Raymond dengan senyum tipis. Feliz tertawa pelan.
Keduanya lalu ditelan kebisuan; karena memang lama tak bertemu akhirnya canggung, juga karena masing-masing dari mereka menyimpan kisah sendiri-sendiri. Mereka tenggelam dalam lamunan masing-masing. Berkecamuk di masing-masing pikiran mereka problematika kehidupan yang sedang mereka hadapi saat itu. Raga mereka duduk berhadapan, namun jiwa mereka dijauhkan oleh sekat maya yang bernama lamunan itu. Seakan mereka berdua tidak berada di tempat yang sama.

Feliz menunggu Raymond berbicara. Begitu pula sebaliknya.

"Eh..." ucap mereka berdua bersamaan.
Apa ini masih bisa dibilang kebetulan?
"Kamu duluan." ujar Feliz.
"Ladies first lah." tepis Raymond.
Feliz merekahkan senyum.
"Menurut kamu lucu nggak" Feliz menjeda kalimatnya, "kita ketemu lagi setelah sekian lama, dipertemukan ama adek-adek kita."
Raymond tampak berpikir. "Biasa aja." sahutnya, dengan ekspresi yang sama dengan kalimatnya barusan. "Apapun bisa terjadi, kan."
"Nah." tukas Feliz. "Itu dia, Ray."
"Itu dia gimana?"
"Apapun bisa terjadi. Anything can happen. No matter how long we haven't seen each other, if destiny ties us, we..."
"Tunggu tunggu tunggu." potong Raymond. "Bahasa Inggris aku nggak sejago kamu. Sorry." lanjutnya sambil tertawa.

Feliz ikut tertawa. Ah, Raymond. Tawanya masih sama. Masih menunjukkan gusinya. Masih dengan guratan di sekitar matanya. Feliz masih hafal setiap sudut lekukan garis wajah Raymond. Sekalipun, sudah dua belas tahun berlalu.

"Ya gitu deh. Apapun bisa terjadi, kan? Nggak peduli sudah berapa lama kita nggak ketemu, nggak berhubungan, tapi kalo takdir kita ketemu, ya... Di sinilah kita sekarang, Ray." tutur Feliz penuh makna.
Raymond mencecap cappucinonya lagi. "Takdir, ya?"
Feliz mengangguk mantap.
"Apa bedanya ama kebetulan?" tanya Raymond lagi.
"Nggak ada yang kebetulan di dunia ini." tandas Feliz.
“Semua yang terjadi di dunia ini itu udah ada planningnya. Jadi, aku diketemuin lagi ama kamu itu, pasti ada tujuannya.” lanjutnya.
“Gitu ya Fel.” sahut Raymond, terkesan asal. Feliz mengangkat alis, mengurai senyum. Seakan menyimpan sesuatu.
Namun, masing-masing dari mereka memang menyimpan sesuatu… yang hanya waktulah yang bisa membuat mereka mengungkapkannya.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now