21 - Pertemuan yang Terulang

Start from the beginning
                                    

"Oke." ujar Feliz. "I'll be right back. Wait here." pintanya pada Gasta. Gasta masih kesakitan. Matanya terpejam rapat-rapat. Luar biasa sekali pendarahannya kali itu. Darah tak hanya keluar dari hidungnya, tapi juga mulutnya. Feliz sebenarnya sudah tau penyebabnya, yakni pendarahan di esofagus. Kerap terjadi pada pengidap sirosis sebagaimana Gasta. Tapi Feliz tetap beranjak dari kamar menuju luar ruangan untuk mencarikan dokter atau suster agar adiknya tidak panik.

Menyusuri lorong yang sepi dan gelap, Feliz ditelan ketakutan. Di ujung koridor lantainya, ada meja resepsionis dan sialnya kebetulan kali itu mejanya sedang kosong. Terang saja, sudah pukul 10 malam. Feliz terus berjalan, hingga dia menangkap segerombolan orang mengiringi ranjang dorong berpasien - tiga orang pegawai rumah sakit, termasuk si dokter, dan satu orang yang sepertinya kerabat pasien - masuk ke salah satu ruang inap. Feliz hendak memanggil, namun dia lebih terdistrak oleh si kerabat pasien tersebut, yang tak lain adalah Raymond.

Langkah Feliz terhenti. Raymond, dengan wajah paniknya, masuk ke salah satu kamar inap tersebut. Feliz berjalan ke ruangan itu; berharap bisa say hi pada Raymond atau sekadar menanyakan siapa yang sakit. Tapi ternyata pintunya sudah ditutup, dan yang bisa Feliz lakukan hanyalah melihat nama kamar tempat Raymond berada. Selantai dengan Feliz namun berseberangan lorong.
Feliz mengibaskan tangan di depan wajahnya. Baru ingat bahwa tujuannya keluar kamar kali itu adalah mencari dokter atau suster yang dapat menolong Gasta. Dan syukurlah, seorang suster dan dokter lewat di depannya, sehingga Feliz memanggil mereka dan mengajak ke kamar Gasta.

Setibanya di sana, Gasta masih terduduk dengan handuk yang kuyup oleh darah di pangkuannya. Pendarahannya sepertinya sudah berhenti, namun bagian hidung Gasta ke bawah berlumuran darah. Hidung, mulut, dagu, leher, hingga dadanya. Feliz, yang sudah mulai terbiasa dengan keadaan Gasta yang begini, dengan cekatan segera membersihkan darah dari tubuh Gasta, dimulai dari tangannya.

Gasta kini terkulai lemas bersandar di sandaran ranjang, masih dalam posisi duduk. Suster mengambil handuknya, sementara Feliz membersihkan darah dari tangannya, lalu bagian hidung ke bawah. Tak lupa dia mengganti jaket dan piyama Gasta, dibantu oleh suster. Kemudian, si dokter mulai memeriksanya.

Setelah ditanya beberapa pertanyaan, dokter memberikan suntikan anti pendarahan pada Gasta. Setelahnya, Gasta tertidur kelelahan, mungkin juga karena kehilangan banyak darah. Si dokter dan suster pamit pergi. Gasta terlelap dalam dekapan Feliz.

"Hei." sapa Feliz, tersenyum saat Gasta mengerjapkan matanya terbangun.
Bibir Gasta melengkungkan senyum.
"How's your feeling?" tanya Feliz.
"Better." sahut Gasta masih dengan senyumnya, namun mata sayunya tetap ada.

Awalnya Feliz ingin bercerita tentang dia yang melihat sosok Raymond di rumah sakit itu, namun dia tak ingin mengungkit-ungkit sesuatu yang tidak jelas seperti itu dengan Gasta. Biarlah kondisi Gasta membaik dulu.

"Don't go." cegah Gasta saat Feliz melepaskan dekapannya. Feliz tercengang. "Stay here." lanjut Gasta, mempererat pelukannya pada Feliz.
Feliz tertawa pelan, heran dengan kemanjaan adiknya.
"I'm not going anywhere." tukas Feliz geli. Dia hendak bangkit sekali lagi, namun sekali lagi Gasta menahannya. "No. Stay here. In the bed, with me."

Feliz jadi heran bercampur geli. Kenapa tiba-tiba Gasta begini? Padahal tadi dia mengusir-ngusir dirinya. Namun dibelainya saja rambut adiknya itu, lalu dikecuplah pelipis kanannya. Gasta merasa hangat. Satu-satunya kasih sayang yang tulus saat ini yang bisa dia dapatkan, ya hanya dari orang ini. Kakak semata wayangnya. Feliz akhirnya mendekap Gasta dan mengelus-elus rambutnya hingga dia tertidur kembali.

***

Benak Feliz mulai berkelana.
Di usianya yang ke 25 ini, masih belum ada pria yang menjadikannya kekasih yang seutuhnya. Ya, Feliz terlalu perfect, pun terlalu perfeksionis. Cantik, supel, berbakat, disukai banyak orang, berpendidikan, membuat beberapa lelaki yang hendak mendekatinya jadi minder. Kecuali, Baskara.
Kalau mengikuti prinsip anak remaja, Feliz pasti sudah baper duluan. Sikap romantis dan siaga Baskara terhadapnya pasti bakal dengan mudah diterjemahkannya sebagai lambang kasih sayang dan rasa ingin memiliki. But, adulthood makes her think twice. Selama Baskara tidak secara langsung bilang padanya bahwa dia ingin serius pada Feliz, everything he does will seem pointless to her.
Belum lagi sikap Gasta pada Baskara yang semakin hari semakin dinilai buruk oleh Feliz. Dia heran mengapa adiknya bisa jadi semuak itu pada Baskara. Yang Feliz tidak tahu, Gasta bisa membaca keinginan hati Baskara, yang memang belum mantap ingin menyeriusi hubungan dengannya itu.
Sekarang Gasta sakit. Untuk mengontak Baskara pun Feliz tak sempat. Baskara juga, tampaknya tidak mengontak Feliz seharian ini. Sepertinya dia tahu bahwa Feliz bakal sibuk di rumah sakit.
Tiga hari berlalu sudah sejak Feliz melihat Raymond di rumah sakit yang sama dengannya. Apakah Deon sakit lagi? Feliz bertanya-tanya. Ingin sekali dia me-WhatsApp Raymond, namun rasa gengsinya mengalahkannya. Lagipula, aneh saja jika Feliz tiba-tiba mengechat Raymond dan bertanya perihal keberadaannya di rumah sakit itu. Bisa-bisa Raymond mengira Feliz sebagai penguntit.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now