28. Seandainya cinta bisa memilih

4.8K 677 34
                                    

"Serius, Bell? Seribu? Alhamdulillah ya Allah." Senyumnya mengembang ketika aku mengangguk. "Buat kapan?"

"Akhir November, dua setengah bulan lagi. Tapi aku sudah buat daftarnya." Aku mengulurkan buku catatanku. Selain daftar cupcake yang ingin dibuat berikut bahan-bahannya, aku juga menulis daftar alat-alat tambahan yang dibutuhkan. "Seribu cupcake itu rencananya mau aku bagi jadi sepuluh rasa. Masing-masing seratus pieces vanilla, cokelat, red velvet, kopi." 

"Cinnamon, stroberi, mocha, peanut butter, pumpkin, carrot," Mbak Ani membaca dari daftar. Semuanya adalah best seller di toko kami.

"Nanti frosting-nya dibedakan dan disesuaikan dengan rasa masing-masing aja. Kayak biasa, bagian frosting aku serahin ke Dita. Mbak Ani nggak boleh ikutan lagi, nanti besar kecil kayak kemarin lagi." 

Mbak Ani nyengir. Berbeda dengan Mbak Ani yang jago dalam memanggang kue, Dita lebih pandai dalam hal menghiasnya. Gadis itu kreatif dan cekatan saat bekerja. Selain itu ia juga pandai melucu. Ada saja celetukan-celetukan ajaib keluar dari bibirnya untuk menghibur kami saat bekerja. 

"Dan seharusnya pakai satu oven yang besar aja cukup sih, Mbak, sekali panggang kan bisa sembilan loyang. Itu pas untuk satu resep, jadi sepuluh kali panggang. Gimana, Mbak?"

"Oke," katanya. "Kayak biasanya aja, kan?" 

Benar, seperti biasa. Tapi ini pesanan besar pertamaku tanpa Bunda. Biasanya beliau menjadi tempat aku bertukar pikiran dan beliau selalu memberi masukan positif dan semangat untukku. Sekarang aku gugup dan sedikit panik. "Mikser dan oven kecilnya aku pakai buat cake susun." 

Kepala Mbak Ani mengangguk. "Tapi seribu cupcake ini apa muat di toko kita, Bel? Dengan semua rak dan perabotan lainnya." 

"Nah. Itu dia, Mbak." Sejak kemarin aku memikirkan ini. Seandainya terlalu penuh, ide sementara yang terpikirkan kami harus bolak balik toko-rumah, dan menyusunnya di rumah. Tapi pasti malah menimbulkan masalah baru karena harus mengeluarkannya lewat gang sempit di depan. Lewat jalan belakang pun sama berisikonya karena sisi kirinya dibatasi selokan besar.

"Kalau kita nyusun di tempat acara aja gimana? Lebih minim risiko rusak karen pengiriman pastinya." 

Aku memutar otak. "Bagus sih, Mbak, idenya. Tapi kemungkinan acaranya akan diadain di hotel. Dan aku nggak berani ambil risiko kalau mempet waktu di sela-sela vendor lain prepare ruangan, pasti mereka juga lagi repot dekorasi di sana."

"Jadi gimana dong?"

"Alternatif lain, kita sewa toko sebelah selama seminggu kurang lebihnya. Nanti aku coba telepon Pak Nardi. Kita bisa nyusun di sana. Semoga dikasih dan semoga belum ada yang sewa bulan November nanti. Sekalian nanti aku coba tanya Daniel atau Tante Lidya di mana acaranya." 

"Semoga Pak Nardi kasih sewa seminggu untuk kita. Agak nyebelin bapak itu. Bawelnya ngelebihin Bu RT." 

Aku tersenyum saja karena apa yang dikatakan Mbak Ani memang benar. Tapi tidak ada salahnya dicoba. Mungkin kalau harganya cocok, beliau mau ambil. Dari pada kosong. "Oh ya, Mbak, kalau ada yang mau pesan kue kotak atau katering terima aja."

"Beneran?" Aku mengangguk. "Kebetulan kemarin Bu Dina nanyain untuk selamatan kontrakan barunya yang di BDN satu, saya bilang mau tanya kamu dulu."

"Terima aja, Mbak. Tanya pesan apa, berapa, dan buat kapan."

Seketika itu juga Mbak Ani mengirim pesan singkat ke Bu Dina. Satu nasi tumpeng dan lauk pauk serta lima puluh kue kotak berisi lemper bakar, kue sus, risoles mayones, bolu kukus, dan Aqua gelas, untuk awal bulan depan.

Extraordinary BestfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang