21. Bukan robot tak kenal sakit

5.5K 740 38
                                    

Semua terjadi begitu cepat.

Belum lima belas menit berlalu ketika bunda menolak ajakan kami ke rumah sakit, beliau menjerit kesakitan. Rasa panik mencengkeram jantungku melihat wajah pucat wanita yang melahirkanku ini. Sambil menahan tangis yang mau pecah, aku mendesak Alcander agar mempercepat laju kendaraan meski macetnya lalu lintas kota Jakarta memang tidak bisa lagi dihindari.

Sesampainya di rumah sakit terdekat empat puluh menit kemudian, kami segera melarikan bunda ke IGD agar segera ditangani dokter jaga. Lidahku kelu, tak ada penghiburan atau kenyamanan yang bisa kuberikan saat melihat tubuhnya meringkuk nyaris membentuk bola di atas matras. Sesekali kulihat tangannya terlihat gemetar ketika serangan rasa sakit itu datang lagi.

Rasanya wajahku tidak kalah pucat. Jika bukan karena Alcander mengusap punggungku dan berbisik agar aku tetap bernapas, mungkin aku akan pingsan karena terlalu lama menahan napas selama dokter dan perawat menutup tirai saat melakukan pemeriksaan.

Dimas mencengeram lenganku erat seolah itu pegangan yang bisa terus menegarkannya. Ketika akhirnya dokter membuka lagi tirai dan melenggang keluar, kami menghambur ke arahnya. Mencecarnya dengan pertanyaan.

"Ibu saya kenapa, Dok?"

"Bunda sakit apa?"

Perempuan yang memperkenalkan dirinya sebagai dokter Emma, tersenyum ramah. "Kami harus melakukan beberapa tes terlebih dulu untuk mendapatkan hasil yang akurat. Besok pagi dokter spesialis akan melakukan pemeriksaan lebih mendalam. Nanti kami memberikan obat penghilang rasa sakit untuk sementara."

Setelah menyarankan agar kami mengurus administrasi, dokter Emma meninggalkan kami. Otakku semakin kosong, rasa takut itu bertambah besar seiring waktu yang terus berjalan. Tanganku gemetar ketika duduk di hadapan petugas administrasi yang berjaga, mengisi formulir yang dibutuhkan.

"Mohon untuk melakukan deposit terlebih dahulu," kata perempuan berwajah lelah di depanku.

"Ya." Aku mengangguk. "Ya."

Tapi kedua tanganku kosong. Tasku mungkin tertinggal di mobil. Sementara aku menatap sekitar seperti orang linglung dan mendapati Dimas berjongkok dengan kedua tangan mencengkeram rambut di dinding terjauh ruangan, Alcander meremas kedua tanganku.

"Tarik napas, Bells. Tenang." Lagi-lagi aku cuma bisa mengangguk, dalam hati bersyukur ada Alcander yang menemani. Pria itu mengurus segalanya untuk kami karena jelas-jelas kami berdua tidak bisa diandalkan saat ini. Dia juga pasti menghubungi orangtuanya karena tak lama kemudian keduanya menghampiri kami dengan tergesa. Wajah keduanya tak kalah panik.

"Gimana?" Kudengar Om Anthony bertanya yang dijawab Alcander seperti apa yang diberitahukan dokter Emma tadi. Daniel datang tak lama kemudian, terlihat berkeringat seperti habis berlari. Napasnya terengah ketika menghampiri Dimas.

Tante Carla merangkulku, mengusap lenganku berusaha menenangkan. "Berdoa. Bunda pasti baik-baik aja."

"Makasih, Tante."

Aku gemetar hebat seraya membekap mulut ketika IGD yang semula tenang berubah gaduh saat seorang anak kecil korban kecelakaan dibawa masuk. Darah, teriakan, dan tangis bercampur menjadi satu. Dokter dan perawat hilir mudik cekatan membantu pasien. Kepalaku terasa pusing, dadaku terasa sesak. Sepertinya aku akan pingsan, tapi tubuhku kekaku batang pohon, dan mataku melekat pada wajah bersimbah darah.

"Ssshh..." Alcander membawaku ke pelukannya, mendekap wajahku di dadanya.

"Kak." Suara Dimas menyentakku dari pikiranku yang kalut. "Bunda mau pindah ke kamar perawatan."

Lalu kami berenam mengikuti bunda dari belakang ke lantai satu di gedung sebelah. Setelah perawat memasang jarum infus dan memberi obat, akhirnya bunda tertidur. Melihat wajahnya damai meski masih terlihat pucat, aku bisa bernapas lebih lega sekarang.

Extraordinary BestfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang