18. Nggak mungkin!

5.8K 690 11
                                    

Maaf ya lama nggak update. Happy reading.

***//***//***//***//***//***//***//***

Aku terbangun dengan terkejut merasakan seseorang mengguncang lenganku. Linglung sejenak melihat Alcander berdiri di sampingku, wajahnya tak kalah sembap karena baru bangun tidur. Rambutnya mencuat tak beraturan dan ada garis bantal di pipi kirinya.

"Jam berapa sekarang?" Suaraku terdengar serak.

"Lima." Setelah meregangkan tubuh, lalu menarik selimut ke atas kepala saat tiba-tiba Alcander menyalakan lampu kamar.

Rasanya kami baru tertidur beberapa menit saja. Hampir sepanjang malam kami mengobrol.

Ketika aku dan Alcander berpose di depan kamera ponsel, Dimas berseru dari ampang pintu. "Ikut! Ikut!" Sebelum bergegas menghampiri kami lalu naik ke ranjang, berlutut setengah membungkuk di antara kami lalu merangkul pundak kami berdua. "Sini gue fotoin." Ia turun lalu mengambil beberapa foto untuk kami berdua.

Setelah mengembalikan ponsel, Dimas merebahkan tubuhnya di ranjang sambil memainkan ponselnya. "Bang, perusahaan masih terima mahasiswa magang nggak?"

"Kenapa? Lo sudah mulai cari tempat magang? Apply aja, nanti gue yang urus."

Dimas menyeringai. "Sip. Thanks, Bang."

"Gimana masalah di Bali, Al?" tanyaku. Aku mendengar selentingan kabar kalau beberapa toko di sana kehabisan stok karena adanya keterlambatan pembayaran utang kepada supplier hingga membuat heboh kantor pusat.

Alcander menggeleng dengan wajah suntuk. "Kelihatannya si Devi ini mau unjuk gigi ke atas kalau di bawah kepemimpinannya rekening perusahaan menjadi gendut. Tapi dia tidak memikirkan konsekuensi dengan menahan pembayaran adalah supplier tidak bisa mengirim pesanan."

"Tapi apa iya supplier juga harus sekaku itu? Bukannya mereka ini supplier lama kita?" tanyaku heran. "Kudengar juga hutang yang belum terbayar nggak lebih dari dua ratus juta."

"Bukan kaku, Bells. Tapi mereka ini sudah menggunakan system. Kalau jangka waktu yang kita punya adalah enam puluh hari setelah tagihan kita terima, misalnya, dan kita tidak juga melakukan pembayaran hingga melebihi jangka waktu itu, sistem akan otomatis terkunci dan kita nggak bisa membuat pesanan baru walaupun utang kita cuma dua ratus ribu. Sedangkan beberapa produk di toko sudah menipis sampai akhirnya habis sama sekali mulai awal minggu lalu." Pantas saja kantor pusat sampai seheboh itu.

Aku memperhatikan Alcander yang sedang memeriksa ponselnya. Jika sudah membicarakan pekerjaan, wajahnya terlihat lebih dewasa dan semakin tampan.

"Dan yang membuat aku kesal, dia ini kan pimpinan tapi bukannya mengambil tanggung jawab dia malah mengambing hitamkan stafnya. Padahal sebelum rapat kemarin, aku sudah memulai investigasiku sendiri melalui Bima. Alih-alih tegas dia ini sering tidak masuk akal. Staf HRD sering menerima keluhan kalau dia sering mempermasalah hal-hal sepele hingga memperlambat proses kerja. Dia ini sering meributkan hal-hal kecil yang seharusnya masalah intern tapi berimbas ke luar."

"Bu Devi ini kepala bagian keuangan untuk seluruh Bali, kan?" Aku ingat wanita itu. Karena kali pertama melihatnya saat acara tahunan, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari matanya yang dipulas eyeliner hitam super tebal dan rambutnya yang diwarnai pirang. "Bukannya bagus ya? Berarti dia teliti dong kerjanya sebagai kepala keuangan."

"Memang. Tapi lebih banyak sok tahunya juga."

"Terus gimana akhirnya masalah stok itu?"

"Selesai meeting kemarin utang-utang yang sudah jatuh tempo segera diproses. Siang ini aku harus meeting lagi. Agak keras kepala rupanya Devi ini. Di sana aku mendapat laporan kalau dia juga menahan pembayaran untuk jasa kontraktor sampai hampir satu tahun dengan alasan tidak adanya bukti bayar. Padahal yang mereka urus ini soal pajak daerah yang nggak jelas biaya tambahannya. Nggak mungkin oknum pemerintah mau mengeluarkan bukti bayar untuk pelicin. Gila apa mereka?"

Extraordinary BestfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang