14. Zach II

5K 662 70
                                    

Happy reading

***//***//***//***//***//***//***//***


"Makasih ya," kataku saat Daniel beranjak.

Ia tersenyum. "Sama-sama. Aku balik dulu. Alcander nggak usah dipikirin."

"Eh? Alcander?" keningku berkerut bingung. Kenapa tiba-tiba Daniel menyebut nama Alcander? "Aku nggak mikirin Alcander."

Daniel hanya tersenyum geli. Ia berlalu sebelum aku sempat membantah lagi. Aku masuk ke rumah sambil menggerutu.

"Kenapa toh, Bell?" tanya Bunda. Beliau duduk di meja makan dengan laporan keuangan harian di tangan.

"Nggak apa-apa." Aku duduk di hadapan Bunda. Menuang segelas air mineral dan meneguknya banyak-banyak. "Gimana Bude Karno, Bun?"

"Sudah baikan."

"Bude sakit apa sih?"

"Terlalu banyak minum kopi. Tapi besok sudah boleh pulang."

Aku hanya ber-oh dan berjanji akan mengunjungi rumahnya besok ketika Bunda mengatakan kalau Bude Karno menanyakanku.

Bunda melirik jam di dinding. "Kamu nggak tidur?"

Aku hanya menggeleng. Lalu memeriksa ponsel meski sama sekali tidak berdenting.

Bunda melepas kaca matanya dan menaruhnya di meja. Beliau memijat pangkal hidungnya sejenak. "Ada apa?"

"Nggak apa-apa." Lalu aku terdiam lama. Kemudian memilih membuka beberapa aplikasi di ponsel yang membuatku bosan. Lalu menarik napas panjang beberapa kali. "Alcander dijodohin sama Tante Carla."

Kedua alis Bunda terangkat heran. "Dijodohin? Dengan siapa?"

"Anaknya teman Tante Carla."

Bunda terkekeh. "Memangnya Alcander mau? Kayak zaman Siti Nurbaya aja, pakai dijodohin segala."

"Yah, tadi sih aku lihat mereka mesra. Walau dengan semua perempuan yang lagi dekat Alcander memang selalu mesra."

"Tapi ya syukurlah kalau mereka cocok. Toh Alcander juga sudah dewasa dan mapan. Apalagi yang mau ditunggu, kan?"

Mereka memang terlihat ... cocok. Aku menutup kuapku dengan punggung tangan lalu meregangkan tubuh. "Ya ... nggak tahu deh." Tapi aku hanya mengedikkan bahu lalu berdiri. "Bella ke kamar duluan ya, Bun." Kukecup pipinya sambil berlalu.

Di kamar, aku mengganti pakaianku dengan piama lalu duduk di bangku dan membersihkan make up. Pikiranku melayang pada kejadian siang tadi.

Meski terlihat sedikit culas dan manipulatif, Abby terlihat cocok untuk Alcander. Gadis itu bisa mengimbangi gaya hidup Alcander yang mewah. Gadis itu juga cantik dan pintar. Di usianya yang ke dua puluh enam, dia sudah berhasil menjabat sebagai direktur marketing di tiga perusahaan sekaligus.*

Sebagai sahabat Alcander, seharusnya aku ikut bahagia saat akhirnya ia bisa menemukan perempuan yang cocok. Iya, kan? Tapi mengapa rasanya ada setitik rasa tidak rela. Aku menatap wajahku di cermin yang balik memandangku tidak senang. Aku terlihat seperti perempuan yang iri dengan kebahagiaan orang lain.

"Mungkin karena aku kelamaan jomblo," gumamku pada diri sendiri. Tapi lamunanku dibuyarkan oleh dering ponsel.

Alcander.

Aku melirik jam di sudut kanan layar ponsel. 23.40. Lalu menyentuh ikon hijau. "Kenapa, Al?"

"Buka pintu, Bells."

Extraordinary BestfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang