5. Darurat Kerja

6.2K 751 20
                                    

Happy reading

******************************

"Bella!" seru Risma dari ambang pintu ruanganku. Senyumnya semakin lebar ketika menghampiri sambil melompat-lompat hingga rambutnya yang keriting mengikuti gerakannya di pundak. "Ayo, perhatiin. Apa yang baru dari gue?"

Bukan hal baru buat Andri dan Hana--rekan seruanganku--melihat Risma keluar masuk ruangan ini. Hal biasa pula untuk mereka bahkan Bu Teresa mendengar suaranya yang nyaring kemudian tanpa sungkan apa lagi malu membicarakan hal-hal aneh yang terkadang kurang pantas didengar orang lain. Tapi itu yang--terkadang--membuat Risma terlihat menarik. Ia selalu berhasil membuat suasana menjadi ceria dan menyenangkan. Seperti sekarang, Andri dan Hana spontan ikut mengangkat wajah demi ikut memperhatikan Risma. Saat ini Andri bahkan menatap Risma dengan senyum geli seolah gadis itu salah satu dari keajaiban dunia.

Aku menatapnya dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan dahi berkerut bingung. Rambutnya masih panjang, sepatu dan pakaiannya juga yang sudah sering ia kenakan. Begitu pula kacamatanya, juga masih seperti yang enam bulan lalu ia pamerkan lantaran--menurutnya--berlapis emas. Masih tidak menemukan apa yang Risma maksud, sekali lagi aku memerhatikan dengan lebih teliti.

Oh! Tapi Andri mendahuluiku. "Warna rambut baru?" ucapnya dengan logat jawa yang kentara.

"Iya! Mas Andri pintar." Kemudian ia menampar pundakku. "Ah! Bella payah nih, masa nggak bisa nebak? Katanya teman."

"Mungkin Mas Andri suka sama lo, Ris, makanya lebih perhatian." celetuk Hana dengan wajah datar yang biasa.

Risma tertawa dibuat-buat dengan gaya centil. "Jangan suka sama Risma ya, Mas Andri. Soalnya Risma sudah punya pacar. Nanti Mas Andri patah hati."

Andri semakin tertawa geli. "Risma, Risma. Kamu kege-eran banget."

Risma mengibas-ngibaskan rambutnya yang sebelumnya hanya berwarna pirang kini digradasi dengan merah maroon di depan wajahku."Bagus, kan? Bagus, kan?"

"Bagus." Memang cocok dengan kepribadiannya yang ceria. "Ngecat di salon mana?"

Risma sedikit mendorongku ke samping lalu duduk berimpitan denganku di bangku . "Salon dekat rumah gue. Yang waktu itu sempat gue ceritain ke lo. Sudah murah hasilnya juga bagus."

Aku mengangguk mengiyakan, lalu kembali membacakan surat-surat yang masuk ketika Risma sibuk membaca pesan di ponselnya sambil tertawa terbahak-bahak. "Eh, Bell, lihat nih. Memang nggak ada yang ngalahin emak-emak berdaster ya. Separuh ban motornya sampai terendam di jalan cor gitu."

Tepat ketika Risma menyodorkan ponselnya ke arahku, Bu Teresa menyerbu masuk dengan wajah tegang dan bergegas masuk ke ruang kerjanya. "Arabella, kamu ikut saya meeting di lantai tiga. Sekarang. Bawa laptop kamu."

Aku seketika waspada. Ada apa ini? Karena biasanya ruang meeting lantai dua hanya dipakai oleh para BOD dan BOC.

"Bella, gue balik deh," bisik Risma. Tapi sebelum beranjak dan berlari kecil ia menambahkan, "Nanti jangan lupa ceritain ke gue ya."

Sesampainya di lantai tiga, beberapa orang sudah hadir. Aku duduk di samping Bu Teresa. Sambil membuka laptop, aku mencondongkan tubuh dan bertanya, "Ada apa ya, Bu?"

"Heru Hendarto ...."

Heru Hendarto? Sekitar tiga tahun yang lalu, beliau muncul pertama kali di televisi dengan karakter yang perfeksionis, keras, serta tajam dalam berkata-kata. Pria yang usianya di pertengahan empat puluh tahun itu segera mencuri perhatian ketika menjadi juri di ajang pencarian chef yang diadakan oleh salah satu stasiun TV swasta untuk pertama kalinya. Setelah itu namanya mulai sering disebut-sebut dalam setiap kesempatan. Tapi sebelum itu, beliau adalah kritikus makanan yang memiliki kolomnya sendiri di salah satu majalah yang dalam beberapa kesempatan mengisi beberapa acara. Tapi ada hubungan apa Heru Hendarto dengan meeting hari ini?

Extraordinary BestfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang