17 - Dia Bukan Gasta

Start from the beginning
                                    

***

Meski Gasta belum menyetujui bahwa dia 'berkenan' menjauh dari Aimee, sikap Gasta sejak pagi itu dinilai Aimee benar-benar berubah. Dia dingin. Senyumnya tipis padanya, padahal dengan teman-teman lain dia sangat enerjik dan responsif.

Contohnya saat pembagian kelompok.
"Gas, kamu kelompokan ama siapa?" Aimee inisiatif bertanya.
"Azhar, Sandra, ama Nova." jawabnya singkat, dengan senyum tipis. "Udah pas, Mee." imbuhnya.

Padahal biasanya, jangankan Aimee yang mengajak, belum apa-apa Gasta sudah langsung mendahului,
"Mee! Kamu kelompokku ya! Ajak Rinka gih!"

Perubahan memang menuntut hati dan jiwa kita untuk beradaptasi.

Contoh lain, saat jam istirahat.
"Gas, temenin ke kantin yuk?" ajak Aimee, lagi-lagi dengan inisiatif sendiri.

Seandainya Gasta berhati sama dengan Danes, pasti dia sudah menghujat Aimee dengan kata-kata pedasnya. "Lo gak inget kemaren lo bilang apa? Sekarang lo ngajakin gue?"

Namun karena hati Gasta terlalu lembut, maka jawabannya adalah "Sorry Mee. Aku udah bawa bekal." Dan tidak lupa dengan senyum halusnya.

Gasta memang tidak menunjukkan sikap permusuhan. Tapi, dia menjauh secara halus. Dan itu ternyata lebih menyakitkan.

Dan yang paling parah, terjadi di hari Selasa sore, sepulang sekolah.

"Gas, pulang bareng yuk? Bundaku nggak bisa jemput." ajak Aimee lagi.
"Boleh. Yuk." sahut Gasta.
Aimee lega. Ternyata sikap dingin Gasta tidak dapat bertahan lama, batinnya. Mereka keluar kelas bersama. Namun, Gasta seakan tidak mau berjalan beriringan dengan Aimee. Gasta membiarkan Aimee berada di depannya. Aimee pun merasakan hal itu, padahal biasanya Gasta pasti berada di sebelahnya sambil menjahilinya.

Angkot datang dan menepi di depan sekolah Gasta. Tak dinyana, Gasta membuka pintu depan angkot, dan duduk di sebelah pak sopir. Aimee jadi keki. Kecewa. Sedih. Kalau seperti ini sama saja dia naik angkot sendiri.

Kalau saja Jum'at itu aku nggak nurutin keinginan Deon buat nyuruh Gasta ngejauhin aku...

Aimee membatin pedih, sambil menatap Gasta yang duduk di sebelah pak sopir.

Aimee fix kehilangan Gasta.

***

Gasta jelas masih dirundung duka. Namun dia memilih menyimpan luka itu sendiri. Campur tangan Feliz rasanya malah akan membuat semuanya lebih rumit. Lagipula, Feliz juga sedang sibuk akhir-akhir ini. Gasta takut mengganggunya.

Ini bukan kali pertama Gasta patah hati. Gasta sudah mengenal jatuh cinta sejak sekolah dasar. Namun, ternyata inilah patah hati yang sesungguhnya. Ketika sedang sayang-sayangnya, namun dilarang.

Sore itu Feliz terkejut melihat adiknya yang tampak berbeda.
"Kamu abis potong rambut, dek?"
"Yoiiiih." sahutnya sambil tetap bermain game di laptop.
"Pake duit siapa?"
"Duitku laaah."
Bertautlah alis Feliz. "Duit dari mana?"
"Uang jajan lah Kak. Di tabungan. Su'udzon mulu sih."
Feliz geleng-geleng. "Ya, kali aja ya kan kamu ambil duit kakak diem-diem. Emangnya dalam rangka apa kok potong rambut? Tumben nggak bilang-bilang kakak?"
Gasta tetap fokus pada layar laptopnya.
"Biar fresh aja." sahut Gasta asal.

Padahal, alasan Gasta ganti model rambut adalah untuk menciptakan suasana baru, agar dia tidak terlalu terpaku pada Aimee. Dia baru baca artikel di internet soal hal-hal yang sebaiknya dilakukan pasca patah hati. Ya, Gasta memang sudah besar.

Feliz duduk di sebelah Gasta, mengamatinya berperang di dunia game.
"Gimana Aimee?" iseng Feliz bertanya.
Gasta tercekat. Lidahnya kelu seketika.
"Ngambang di got." tukasnya super asal.
Feliz terkejut. "Loh, kok gitu? Kenapa?"
"Lagi males ama Aimee."
"Kenapa?"
"Sikapnya berubah."
Padahal, dia sendiri yang berubah.
"Berubah jadi?"
"Kaku, kaya ga kenal gitu."
"Kok bisa?"
"Auk deh."
"PMS kali."
"Mungkin."
Feliz jadi mendengus kesal melihat sikap Gasta yang acuh tak acuh.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now