Pergimu Terlalu Jauh

3.5K 259 15
                                    

Mereka pasti juga merasa kehilangan. Tapi tetap, aku yang paling merasa kehilangan. -Hanuning Praswati.

🏷🏷🏷🏷🏷🏷🏷🏷🏷🏷🏷


Rumah Sakit Citra Medika.

Tulisan itu terpajang dengan gagah di atas bangunan yang megah. Hanun jadi merasa kecil melihatnya dari bawah. Tapi Hanun memang kecil dan sedikit kurang tinggi.

Hanun terus berlari memasuki rumah sakit itu. Mengikuti Ganang yang lebih dulu berlari. Mereka memasuki sebuah lorong yang panjang dan sepi, tapi terlihat beberapa orang berdiri di ujung lorong itu. Hanun mengenali mereka semua. Orangtua Diego dan Tomy. Hanun menambah kecepatannya, ia ingin segera sampai.

Nadia, Mama Diego terlihat menangis. Hanun menatapnya sebentar, dan fokusnya beralih ke pintu yang di dalamnya ada seorang lelaki, tapi kenapa seluruh tubuhnya tertutupi? Bahkan seluruh alat yang ada di tubuhnya telah di lepas. Kenapa? Dia butuh itu untuk sembuh, kenapa orang-orang berbaju putih itu justru melepasnya?

Hanun berbalik dan menatap Dirgantara, Papa Diego, juga Tomy bergantian. Terlihat jelas raut wajah sendu di sana. Hanun ingin bertanya ada apa, tapi logikanya sudah lebih dulu menjawabnya. Satu tetes, dua tetes, tiga tetes air mata Hanun terus menetes. Hanun kembali melihat ke ruangan tu. Seluruh alat yang memang sudah di lepas, dan tubuh Diego yang tertutupi kain. Hanun yakin di sana hanya menyisakan Diego dengan tubuh atletisnya. Hanun terus menangis. Kenapa Diego di sana sendirian? Bahkan Hanun ada di sini, di luar. Kenapa Hanun begitu lemah sampai tidak bisa menemani Diego?

Pandangannya semakin buram karena air mata yang semakin menumpuk di pelupuk matanya, bahkan sudah menetes ratusan kali, tapi masih saja ada air mata yang berdesakan.

Hanun menyentuh pintu kaca itu.

“Diego..”

“Kamu tega banget ngebiarin aku nunggu di luar. Ajak masuk, kek. Aku pengen deket kamu tahu! Aku kan udah bilang aku nggak mau jarak jauh, nanti aku kangen gimana? Kamu kan juga udah janji nggak bakal jauh-jauh dari aku?”

“Diego, jangan macem-macem, ya! Kamu janji buat jagain aku terus. Diego..”

Hanun terduduk lemas dan masih menghadap ke pintu itu. Rasanya kakinya terlalu lemas, sama sekali tidak bertenaga untuk menopang tubuhnya. Hanun terus menyalahkan dirinya sendiri dalam tangis. Harusnya dia bisa menahan Diego sedikit lebih lama, setidaknya sampai truk ugal-ugalan itu melewati perempatan itu lebih dulu. Atau seharusnya Hanun ikut Diego ke rumah Tomy agar dia bisa bersama Diego di dalam sana.

Dirga meraih pundak Hanun dan membimbingnya untuk berdiri. Hanun sudah pasrah, dia mengikuti ajakan Dirga. Hanun berdiri dan berbalik, menatap lekat pria paruh baya itu. Matanya jelas memancaran kesedihan, tapi dia tidak menangis.

“Pa, Diego nggak pergi, kan? Diego bakal terus di sini sama Hanun. Diego udah janji gitu sama Hanun. Diego janji bakal jagain Hanun. Diego nggak bakal ingkar janji kan, Pa? Papa kan nggak pernah ngajarin Diego buat bohong dan ingkar janji, jadi Diego nggak mungkin kaya gitu ke Hanun. Papa kan sering bilang, like father like son, iya kan?” Hanun terus meracau dan tertawa hambar. Sangat hambar, lebih hambar dari sayur tanpa garam.

Dirga menarik Hanun ke dalam pelukannya. Kali ini dia menangis. Hanun yang sudah menangis lebih dulu pun semakin terisak. Tubuhnya bergetar dengan hebat. Bagaimana tidak? Di dalam sana, kekasihnya sendirian. Bahkan Hanun tidak tahu jiwanya tengah melayang ke mana. Yang Hanun tahu, setelah ini dia tidak akan bisa melihat kekasihnya lagi, tidak bisa melihat lesung pipinya, tidak akan bisa memeluknya, mengupaskan apel untuknya, tidak bisa marah-marah dan menyalahkannya hanya karena dia laki-laki, tidak bisa mendengar lawakan recehnya, Hanun tidak bisa merasakan semua yang ada pada diri Diego, lagi. Hanun bahkan tidak tahu apakah dia bisa bangun saat tidur nanti, bukankah Putri Tidur membutuhkan pangeran untuk membangunkannya?

K I N G [Completed]Where stories live. Discover now