14. Waktu

523 115 67
                                    

Matahari semakin panas, merambat masuk ke dalam sudut kelas. Dua kipas angin tak lagi berjalan, karena pemadaman listrik yang disialkan. Suasana semakin panas dan geram, saat masuknya pak botak ke dalam kelas.

Dipanas-panas bolong begini pak botak mengadakan ulangan dadakan dengan materi yang jelas-jelas belum dipahami murid-murid. Bagaimana murid bisa paham, jika pak botak mengajarkan matematika dengan hanya menggeser-geser cursor mouse dan menampilkannya di layar LCD.

Sebelum ulangan dadakan dimulai, Pak Botak memberikan waktu 10 menit untuk belajar, tetapi dengan catatan jika tidak bisa tuntas maka remidi membuat 100 soal plus kunci jawaban seperti materi yang telah diajarkan.

"Waktu kalian dua menit lagi. Masukan buku kedalam tas dan duduk sesuai presensi!" tegas Pak Botak sambil mengemut sebungkus permen, "Karena kalian sudah kelas dua belas. Maka KKM matematika untuk ulangan sekarang dan selanjutnya, akan bapak naikan menjadi 90."

Sontak seisi kelas semakin gaduh tak terkendali. Keadilan dan keringanan tidak ditegakkan di pelajaran matematika.Guru, engkau laksana embun penyejuk, sepertinya julukan itu tak pantas didapat oleh Pak Botak. Seluruh murid hanya bisa bermohon dan berdoa, agar kelak nanti mata pelajaran matematika bisa seadil mata pelajaran PPKN.

"Diam!" bentak Pak Botak memukul papan tulis, "Duduk sesuai presensi!"

Sekarang seluruh murid sudah duduk urut presensi. Duduk sesuai presensi, hal ini yang paling di jengkel kan oleh beberapa murid Bukan karena mereka membenci teman sebangku yang sekarang, tetapi karena usaha keras mereka membuat contekan di meja bangkunya atau zona nyamannya sangat sia-sia.

"Anjir gue kira nggak urut absen. Udah gue capek-capek buat rumus panjang kayak kereta api, nggak kepakai. Keenakan yang duduk di bangku gue," geram Putri kesal.

"Makanya belajar, bisanya nyontek saja," celutuk Fafa yang duduk dibelakangnya.

"Raf, emang lo paham materi yang diajarkan pak botak ya?" tanya Rahel berbisik disamping Fafa.

"Enggak. Tapi gue bawa hp,"

Rahel tak percaya dengan handphone yang telah dikantongi Fafa. Memang disekolah ini memiliki peraturan untuk tidak memainkan handphne pada saat jam pelajaran, dan pada jam itu seluruh handphone akan dimasukkan kedalam lobi khusus dan dikunci. Murid hanya boleh mengeluarkan handphon pada saat jam istirahat, ataupun jam kosong lainnya. Lalu bagaimana Fafa bisa mengantongi handphone?

"Kok bisa bawa HP? Lo nggak takut apa kalau pak botak lihat, ntar bisa dibanting,"

"Tenang aja. Ini bukan hp gue, ini punyanya Rehan. Mau dibanting kek, ditenggelemin ke laut kek. Gue udah iklas. Lagipula kita duduknya di paling belakang, aman deh," Fafa menyengir tanpa dosa, lalu mengambil selembar kertas ulangan yang sudah diberikan oleh Putri.

Fafa terus menyelinapkan handphone di celah-celah kursinya, tangannya tak henti bergemetaran saat mulai mengetikkan kata. Sementara Rahel, Rahel tak henti-hentinya berbicara. Kepala Rahel terus menegok kekanan dan kekiri, mengawasi posisi pak botak berjalan.

"Ben... bentar... bentar Raf, Pak Botak mau kesini. Cepet.. cepet hpnya lo umpetin dulu,"

Dengan rusuh, Fafa memasukkan handphone Rehan kedalam laci meja tersebut.

bruk

"Mantep!" ujar Fafa menepukkan dahinya, buru-buru Rahel mengambil handphone yang terjatuh dari bawah meja tersebut.

"Suara apa tadi?" teriak pak botak mempercepat jalannya.

"I.. itu pak, tempat pensil jatuh," bohong Fafa sambil memamerkan tempat pensil milik Rahel.

Ketua Kelas [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang