7. Mak Rempong

703 210 90
                                    

Rehan berjalan meninggalkan UKS yang sudah beberapa jam tadi ia gunakan. Jalannya masih tertatih-tatih, keringat terus bercucuran membasahi kening hingga lehernya.

Fafa sudah kewalahan menghadapi sifat keras kepala Rehan, yang menolak mentah-mentah supaya tidak menghubungi orang tuanya. Rehan tidak ingin orang tuanya membuat keributan di sekolah ini karena dirinya, terlebih mereka sedang keluar kota.

Sambil menatih sepupunya, Fafa berjalan menuju halaman parkir yang tak jauh dari ruang UKS. Syukurlah, keadaan Rehan lumayan membaik setelah diberikan perawatan oleh kakak perawat UKS.

Suasana semakin ganjil, ketika mereka berdua berada di parkiran tempat Rehan menitipkan motornya. Fafa menepuk dahinya dengan tangannya, dirinya baru ngeh jika Rehan membawa sepeda motor bukan mobil. Bagaimana bisa Rehan mengendarai sepeda motor, dengan kondisinya yang belum 100% stabil. Masa iya Fafa yang memboncengi Rehan? Padahal dikamus kehidupan Fafa, Fafa belum pernah mencoba belajar mengendarai sepeda motor, walaupun itu motor matic sekalipun. Matic aja nggak bisa apa lagi motor gede, adanya malah nyungsep.

"Gimana Rei? Lo kan tahu gue nggak bisa naik motor,"

Rehan diam, dirinya berpikir. Jika tubuhnya kuat untuk mengendarai sepeda motor, mungkin sudah dari tadi mereka meninggalkan halaman parkiran ini. Tetapi sekarang, Rehan benar-benar sudah tidak kuat dengan kondisinya.

"Kenapa nggak telpon Tante Silvi? Mama lo kan ada dirumah, suruh dia ke sekolah jemput gue!" jelas Rehan memaksa Fafa.

"Terus motor lo, mau dinginepin disini?"

"Kagak lah! Mama lo suruh bawa mobil. Ntar kalau sudah sampai sini mobilnya lo yang bawa, biar motor ini dibawa Tante Silvi," Rehan menunjukkan jarinya kearah motor gede miliknya.

"Buset.. lo kira emak gue Rosy? Mamah gue yang udah bedakan berlapis-lapis bagai bidadari bayangan, lo suruh dia taikin motor ninja? Yang ada bedaknya luntur, zaman sekarang beli bedak itu mahal jangan samain dengan beli krupuk,"

Rehan teringat, jika tantenya berjenis kelamin perempuan. Dirinya tidak sanggup menyuruh Tante Silvi untuk menaiki motornya. Selain membahayakan keselamatannya, Rehan juga takut jika tantenya akan viral ngedadak seperti tahu bulat yang digoreng dadakan.

"Kenapa lo nggak telpon supir lo? Pulangnya suruh dia bawa motor lo, kan Mang Ayen bisa naik motor,"

"Tapi nanti kalau dia bilangin ke mamah atau papah soal keadaan gue gimana? Gue nggak mau hari ini mamah pulang dadakan, cuman mau ngomelin gue,"

"Dasar anak mami! Tapi kalau itu sih gampang," Fafa memainkan jarinya memberi isyarat 'uang' kepada Rehan. Rehan tersenyum mengerti dengan maksud Fafa.

Sudah 10 menit Fafa dan Rehan menunggu, tetapi kedatangan Mang Ayen belum juga kelihatan Batang pantatnya. Rehan sudah tergelosor lemas dipundak Fafa, layaknya seorang kekasih yang saling merindukan. Sebenarnya Fafa sangat risih dengan kelakuan Rehan ini, Fafa takut jika dirinya dibilang gay oleh orang-orang.

Suara klakson mobil terdengar di telinga mereka. Rehan segera terbangun dari pundak Fafa. Mang Ayen sudah keluar dari mobil berwarna putih dan memberikan kontak mobil kepada Fafa.

"Mang jangan beritahu Mama ya!" Rehan memberikan kontak kunci motornya kepada Mang Ayen, sementara itu Fafa bergidik jijik dengan kelakuan manja sepupunya itu.

"Siyap dek Rei, tapi langsung pulang kerumah ya jangan main kemana-mana," ujar Mang Ayen. "Aduh, Mang jadi malu. Serasa anak zaman now naik motor yang beginian," lanjutnya.

Setelah kepergian Mang Ayen, Fafa membukakan pintu dan membereskan tempat duduk, supaya nyaman digunakan oleh Rehan. Fafa mengemudikan mobilnya.

"Hei tunggu!" teriak seseorang.

Ketua Kelas [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang