Bu Nia tampak tak setuju. "Oke. Tapi kamu harus tetep ikut ke BK dulu. Untuk pemeriksaan lebih lanjut."

Gigi Gasta gemeretak. Tangannya mengepal kuat-kuat. Rasanya ingin sekali ditonjoknya muka Bu Nia yang setidak percaya itu dengannya.

"Bu. Denger ya. Gimanapun Bu Nia mau interogasi saya, Bu Nia nggak akan pernah dapet jawaban pengakuan dari saya Bu. Karena memang bukan saya pelakunya!" sentak Gasta sekali lagi.

"Terserah. Ikut ibu ke BK sekarang." Bu Nia menarik tangan Gasta.

Gasta kontan menyentakkan genggaman Bu Nia.

"Fine!!!!" pekik Gasta. Bu Nia melotot ke arahnya. "Nggak usah ditarik begini. Saya bisa sendiri." lanjutnya, dingin.

Bu Nia menatapnya penuh kekesalan. Digiringnya siswa yang menurutnya biang onar itu ke ruang BK.

***

"Ceritakan sejujur-jujurnya, Gas. Semuanya." pinta Bu Nia.

"Apanya Bu? Nggak ada yang bisa diceritakan." bantah Gasta.

"Gasta, tolong. Jangan buat saya makin dongkol melihat tingkahmu, ya. Baru minggu lalu kamu saya skors. Kamu pengen waktu skors yang lebih panjang rupanya?"

Semakin memuncaklah emosi Gasta. Guru satu ini rupanya sudah mengejudgenya salah.

Brak! Gasta menggebrak meja."Saya nggak salah, Bu!"

Bu Nia berdecak kesal. "Sulit ya, ngomong sama kamu. Saya panggil kakak kamu ya biar tau kelakuan adiknya kaya gini?"

"Panggil aja Bu. Kalo saya emang gak salah, saya gak bakal takut."

Feliz datang ke ruang BK. Bu Nia menjelaskan semua kejadian itu. Awalnya Feliz menatap marah ke arah Gasta, namun tatapan mata adiknya menyiratkan bahwa dia memang tidak bersalah.

"Kakak ngerti aku kan? Ngerti nakalku model gimana kan Kak? Senakal-nakalnya aku, aku nggak akan nyuri. Kakak tau sendiri kan?" desak Gasta pada Feliz. Feliz menatapnya iba.

Gasta menceritakan runtutan kejadian yang dialaminya sejak jam pelajaran olahraga hingga Bu Nia masuk ke kelasnya tanpa kurang satu apapun. Feliz tidak bersikap membela adiknya, tapi dia juga tidak memihak Bu Nia.

"Siapa tau ada yang diam-diam masuk ke kelas Bu." kali ini Feliz buka suara. Gasta mengiyakan. Tiba-tiba dia teringat sesuatu.

"Bu, seingat saya, yang izin pas pelajaran olahraga bukan cuma saya. Ada beberapa anak lain Bu."

"Siapa aja emang?"

"Marco, Tofan, dan Danes."

Alis Feliz terangkat.

***

Tiba di ruang BK, Marco, Tofan, dan Danes memasang tampang kesal. Mereka tidak habis pikir, kenapa sih Gasta tidak mengaku saja agar masalah ini cepat selesai? Gasta memandangi mereka satu persatu dengan tatapan tajam, berharap mereka dapat mengaku. Feliz sudah meninggalkan mereka karena sudah tiba waktunya mengajar kelas lain, sehingga Gasta bisa leluasa bicara tanpa takut teguran Feliz yang bisa diperpanjang jadi omelan kalau sudah di rumah nanti.

"Kok kami juga dipanggil sih Bu. Kan jelas kalo Gasta yang ngambil." gerutu Marco pada Bu Nia. Gasta mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dia semakin yakin bahwa Marco lah pelakunya.

"Masa ya saya Bu? Orang uang saya sendiri juga hilang." timpal Tofan. Danes hanya bungkam. Matanya melirik Gasta dan Bu Nia bergantian, dengan tatapan yang sama seperti Tofan. Tatapan tidak terima.

"Mereka ini tadi juga sempet izin waktu jam olahraga Bu, nggak cuma saya!" papar Gasta.

"Yeee, kita kan ke toilet, kalo lo kan ke kelas." timpal Danes, diiyakan oleh Tofan dan Marco.

Aim for AimeeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora