1 - Us, Four Years Later

8.1K 608 25
                                    

Yg di mulmed buat fangirling Henry Golding aja ya.. yg penasaran silakan ditonton dijamin gemes sama sosok Arleston di cerita ini!!!!

---

Empat tahun kemudian

Gemi menatap jengah pria tampan di hadapannya yang sedari satu jam lalu masih sibuk menikmati makan siangnya yang baru ia santap di sore hari.

"Pak, udah belom sih? Makan sepiring aja kayak makan segentong," oceh Gemi.

"Saya kan udah bilang, kalau kamu mau makan tinggal pesen. Ngaku aja kamu, Ilang, laper kan liat saya makan?" balas Arles dengan seringaian menyebalkannya itu.

"Nama saya Gemilang, Pak, bukan Ilang! Udah 4 tahun saya jadi anak ilang mulu kalau sama bapak. Bapak pikir saya gak capek? Saya capek, Pak! Apalagi sekarang, harusnya saya udah santai menatap oppa-oppa di rumah."

Arles tertawa. "Hahaha! Selera kamu kakek-kakek? Saya gak nyangka."

Gemilang menahan geramannya. "Untung kontrak saya tinggal 6 bulan lagi."

Mendengar itu, Arles menyudahi makannya. "Kenapa? Kamu gak betah sama saya? Atau.. kamu mau nyari bos baru, iya?"

"Kalau iya kenapa emang?"

Arles menyipitkan matanya, mencoba untuk mengintimidasi Gemi yang tampaknya tak takut sama sekali. "Asal kamu tau ya, Ilang. Di dunia ini bos terbaik itu cuma ada 1, yaitu saya. Harusnya kamu bersyukur dapet atasan kayak saya. Kamu ngocol juga saya ngocolin balik, bukan saya pecat. Gaji malah naik bukan turun. Kurang baik apa saya?"

Gemi menghela nafas sambil memutar kedua bola matanya.

Ya, beginilah selama 4 hampir 5 tahun belakangan ini. Gemilang dan Arles mempunyai semacam hubungan yang sedikit aneh. Dalam pekerjaan, keduanya selalu profesional. Tapi di luar itu, tak ayal mereka seperti kucing dan anjing yang tak pernah akur.

"Oh, iya, Ilang," Arles menelan suap terakhirnya, "minggu depan saya akan ke Inggris."

"Lagi, Pak?!" Gemi menatapnya tak percaya.

Arles mengangguk, "Denger dulu. Saya tau saya terlalu sering pulang kampung akhir-akhir ini. Tapi kali ini saya mau bawa kamu."

"HAH?!"

"Shhh! Kamu malu-maluin aja sih!" Arles meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya. Ia menengok, menyadari tatapan orang-orang mulai teralih pada mereka.

"Pokoknya kamu siapin barang-barang kamu, buat di sana selama 1 minggu."

"Terus di kantor gimana, Pak?"

Arles tersenyum meremehkan. "Tenang aja, saya udah naikin gaji Chairil. Dia mau ngambil alih kerjaan selama 1 minggu itu."

"Chairil general manager maksud bapak?!"

Arles mengangguk. "Iya, yang naksir sama kamu itu. Yang udah punya istri 3 dan pengen jadiin kamu yang keempat."

Gila harta tuh orang. Udah kerjaan banyak masih mau aja disuap, batin Gemi.

"Ngapain bawa saya sih Pak?" tanya Gemi penasaran.

"Kamu gak mau keliling London? Bagus lho, daripada kampung halamanmu. Apaan tuh Kampung Durian Tumbuh," ledek Arles.

Gemi yang sudah malas berdebat hanya diam setelah melirik Arles dengan sinis.

"Lagian, saya mau ngenalin kamu ke seseorang yang sangat berpengaruh di perusahaan Majapahit ini. Karena beliau gak bisa ke Indonesia, nah kita aja yang ke sana."

Kirain mau ngajak jalan-jalan, taunya urusan kerjaan, batin Gemi kecewa.

---

"Ilang! Udah sampe!" teriak Arles di telinga Gemi. Gemi yang sedang nikmat tidur di mobil mewah Arles langsung terbangun dan mengelus telinganya yang sakit. "Astaga, Pak! Banguninnya gak usah nge-gas juga, kali! Sampai pake toa begitu. Memangnya saya tuli apa?!" protesnya.

"Kan biasa kalau saya panggil kamu gak nyahut," Arles terkekeh.

"Terserah. Saya masuk dulu, deh. Makasih atas tumpangannya, Pak, walau nyetirnya lambat banget ngalahin siput lumpuh. Hati-hati sampe apartemen bapak," pamit Gemi sebelum turun dari mobil Arles dan masuk ke rumah sederhananya.

Sementara itu Arles mengulum senyum. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum benar-benar pergi dari pekarangan rumah Gemi.

---

"Jadi kamu bakal bawa dia?" tanya seorang wanita di layar ponsel Arles.

Pria itu mengangguk. "Kali ini aku serius."

Wanita berwajah khas Asia itu tertawa. "Kamu bilang begitu setiap tahun kita akan reuni."

Arles menyipitkan matanya. "Kalian bakal suka sama dia."

"Terdengar dari ceritamu, aku sudah setuju. Tapi, Arles, apa ia merasakan hal yang sama terhadapmu?"

Arles menghela nafas ketika panggilan itu terputus begitu saja. "Kalau tidak pun, aku bakal buat dia merasakannya," katanya pada dirinya sendiri sebelum mengakhiri harinya dengan tidur yang lelap.

Her BossWhere stories live. Discover now