part 27

6.8K 368 9
                                    

Akbar mendeham, meja makannya tak pernah seriuh ini. Sejak kedatangan Raka suasana jadi tambah ramai. Keponakan laki-lakinya itu sekarang terlihat lebih matang dan kuat. Akbar mengingat masa lalu saat ia dan Bila memaksa Raka untuk bisa bela diri, menggemblengnya sedemikian rupa sebelum mereka berpisah karena Raka terpaksa harus ikut mamanya setelah keputusan perceraian orang tuanya itu. Ia tak mau kalau sampai Raka dibully lagi di tempat barunya nanti.

Sekarang lihatlah! Badannya yang dulu sering membungkuk kini tegap penuh percaya diri. Otot-ototnya terbentuk karena ia rutin mengolah tubuhnya.

"Paman tahu...?" Raka buka suara.

"Makan dulu! Pimpin do'a!" Serunya pada Raka.

Raka menurut. Ia sudah lupa dengan aturan makan keluarga almarhum paman Anwar yang melarang berbicara saat sedang makan. Memang sudah seharusnya seperti itu, padahal profesinya sebagai dokter saat ini seharusnya tidak melupakan hal sederhana seperti itu. Sekarang mulai terkikis oleh kebiasaannya yang baru dengan mamanya.

Selesai makan Raka mulai mengoceh, sementara Bila sibuk membungkuskan bekal yang banyak. Untuk siapa lagi kalau bukan Reno. Masker sudah terpasang untuk mennyembunyikan lebamnya.

"Paman gak penasaran Bila bungkus bekal yang banyak buat siapa?" Raka memulai kecomelannya.

"Dia memang makannya banyak. Kamu kayak baru tahu aja," Akbar menanggapi dengan santai.

"Paman kemarin malam gak datang sih."

"Raka!" Bila menempelkan telunjuk ke bibirnya. Raka sudah terlalu banyak bicara.

"Ingat! Kalian sekarang boleh main rahasia-rahasiaan, tapi kalau sampai...."

"Biar aku yang jelasin."
Belum tuntas kalimat Akbar, Dinda yang ketakutan duluan lari menghambur dari dapur ke ruang tempat mereka berkumpul.

💗💗💗

"Mami lihat pipi kamu agak berisi, Ren. Mami senang lihatnya meski kamu jarang makan di rumah."

"Ini karena pipi Reno bengkak aja kok, Mi."

"Enggak ah, kamu emang beda sekarang."

Apa iya cuma empat hari makan bersama Bila bisa bikin dia gemukan? Reno meraba pipinya dan mencebikkan bibirnya.

"Mau kemana? Jangan pergi ke sana lagi? Kerja kasar, mami gak izinin," larangnya begitu melhat Reno melangkah pergi.

"Reno gak apa-apa. Lagian Reno udah janji sama temen Reno mau bantu sampai selesai. Gak enak kan, Mi. Tinggal lima harian lagi beres kok."

"Masih lama ah. Gak boleh."

"Mami kan selalu nyuruh Reno kerja."

"Tapi bukan gitu. Bantu ayah kamu di kantor kalau tetap maksa pergi ke sana seenggaknya tunggu sampai pulih dulu badan kamu. Emang gak pada sakit?"

Maminya terus melarang dengan wajah memelas hingga ia tak sampai hati kalau sampai membantahnya.

Reno tidak datang. Tak ada yang ribut meminta bekalnya sekarang. Bila berkali-kali memandang pintu masuk utama rumah Ersya namun yang ditunggu tak jua menampakkan diri. Apakah dia semarah itu?

Para tukang yang bersimpati dengan keadaan Bila tak membiarkan Bila bekerja kasar hari itu. Biasanya dia ikut menata, menggeser ataupun mengangkut barang. Tapi kali ini dia hanya mengawasi dan memerintah saja.

Satu hari berlalu tanpa Reno. Dua hari. Tiga hari dia tidak hadir juga. Exclusive interview Ersya telah berlangsung dengan lancar meskipun interior rumahnya belum selesai seluruhnya. Host-nya pun sedikit menyinggung tentang Rumah baru Ersya dan sempat mengajukan beberapa pertanyaan pada sang desainer interior. Sampai hari terakhir Reno tidak menampakkan batang hidungnya sekalipun.

Di satu sisi ia merasa hampa, sisi lain lega karena paman Akbarnya yang sudah tahu  tentang Reno tidak sampai bertemu dengannya. Akbar membatalkan pergi ke luar kota dan lebih memilih mengantar jemput Bila ke tempat kerjanya sendiri.

"Jangan-jangan kamu sudah melarang dia datang? Kalian merahasiakan hal sebesar itu dari paman. Sedikit lega karena dia sudah menolak dan perjodohan kalian batal, tapi kalau dia masih berada di sekitarmu, paman harus waspada. Modusnya apa ni? Orang itu masih sama seperti dulu atau sudah berubah? Paman harus tahu itu dulu," terangnya seraya mengemudikan mobil.

Dulu pamannya memukuli Reno tanpa ampun karena mengira Reno akan berbuat kurang ajar pada Fahira  yang sudah berkali-kali diingatkan masih tetap saja menemuinya. Bila sudah menjelaskan bahwa pamannya hanya salah paham tapi ia bersikukuh dengan pemikirannya. Dia melakukan semua itu karena begitu menyayangi dan melindungi keluarganya.

Bila hanya menatap kendaraan yang memadati jalan di hadapannya. Macet, seperti perasaannya yang tak pernah mau beranjak pergi  meninggalkan Reno. Di setiap do'anya masih ia bubuhkan nama orang yang ia percaya bisa berubah lebih baik. Sama-sama menuju jalan yang lebih baik. Hanya itu yang bisa ia lakukan.

Ba'da subuh Heru sudah meneleponnya padahal dia sudah berjanji akan memberinya libur panjang. Bila sudah punya rencana untuk pergi berpetualang, napak tilas  bersama teman-teman pengajiannya sekaligus mendukung gerakan menanam seribu pohon dari 'Bengkel Amal' yang Bila dirikan bersama rekan-rekan lainnya.

"....sekalian aku kasih misi ya, Bil. Aku juga mau dukung gerakan itu. Dari perusahaan akan menyumbang tapi kamu harus bawa bendera logo perusahaan kita."

"Kirain gak jadi ngasih libur, ini  seriusan? Ada aroma-aroma riya ni. Ini acara amal lho! Nyumbang-nyumbang aja kali, Pak. Gak usah bawa bendera segala emang kita mau naklukin puncak Everest," candanya.

"Gak disponsori yang lain?"

"Tidak ada sponsor seperti yang Bapak bayangkan. Tidak ada kamera yang akan merekam. Orang dermawan yang menyumbang tidak meminta namanya kami sebut."

"Amalnya masih diterima gak kalau tadi aku punya pikiran gitu?"

"Semua amalan diterima atau tidak tergantung keikhlasannya. Dan itu hanya Allah yang bisa menilai. Bapak ikhlas gak ni? Niat buruk yang tidak dilakukan belum terhitung dosa. Oke Pak!" Bila menjelaskan dengan nada santai.

"Begitu? Berangkat hari ini?"

"Besok pagi."

"Aku transfer uangnya aja, ya?"

"Siap! Semoga Allah membalas kebaikan Bapak!"

"Aamiin. Ya sudah, Bil. Kamu  hati-hati ya! Punya hobby kok main di hutan. Jaga diri baik-baik! Pulang kembali dengan selamat. Assalamu'alaikum."

Bila mengakhiri perbincangan subuhnya dengan menjawab salam.

💗💗💗

Semua orang telah berkumpul di garis start. Tim dibagi menjadi 3, terdiri dari tim ikhwan satu yang berjumlah  10 orang akan berangkat lebih dulu dan memimpin perjalanan kemudian tim akhwat 27 orang akan berangkat setelahnya dan 15 orang tim ikhwan dua akan berada di garis belakang termasuk diantaranya Raka yang baru bergabung dengan tim medis "Bengkel Amal" kemarin malam. Dia baru memulai dinas resminya di rumah sakit ternama minggu depan. Ia begitu antusias dengan kegiatan yang digagas saudarinya itu untuk membantu sesamanya. Rencananya selain menanam seribu pohon di hutan yang mereka lalui, orang-orang dengan profesi berbeda itu akan masuk ke pelosok desa untuk membantu sesuai kemampuan mereka.

Ustadz Hanafi dan istri masing-masing menjelaskan track yang akan mereka lalui dengan peta yang telah disiapkan sebelumnya kepada masing-masing tim.

"Untuk kelancaran dan keselamatan mari sejenak kita panjatkan do'a...."

Do'apun melantun penuh khidmat.

Semua siap berangkat dengan perbekalan masing-masing. Bibit-bibit pohon telah dikirim sebelumnya ke desa-desa yang akan mereka lalui dan sudah siap ditanam saat mereka tiba di sana.

"Tunggu!!!"

Sebuah teriakan menghentikan langkah tim ikhwan dua. Tubuh mereka serentak berbalik.

"Ngapain dia ada di sini?" Raka mengenali sosok pria yang berlari melambaikan tangannya.

💗💗💗

TBC















































TasabilaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz