part 10

10.2K 436 0
                                    

Sepuluh tahun yang lalu.

"Alif, Ba, Ta!!!"

"Ya!" Tiga orang menjawab serempak.
Pamanku sudah memanggil untuk mengantar kami sekolah.

Penghuni di rumahku bertambah banyak, entah kenapa mereka tiba-tiba ingin pindah ke rumahku. Awalnya pamanku Akbar yang hijrah dari rumah Om Azhar, kakak dari ayahku. Mungkin ia menghindar dari keluarga yang penuh konflik itu dan sudah hampir dua tahun dia tinggal  di sini. Kemudian dua kakak sepupuku berbondong-bondong memindahkan barang mereka ke rumahku yang sempit ini.

Alifahira Azhar, kelas XII IPA, gadis cantik berambut panjang, pintar dalam segala hal, dan adiknya Baraka Azhar, kami seumuran hanya beda satu hari saja ia lahir ke dunia ini. Setiap hari ia selalu mengeluh karena di bully teman-teman sekolahnya, ia terlalu lembek sebagai seorang laki-laki. Saat itu bukannya sok jago tapi aku yang menyelesaikan masalahnya hingga teman-temannya itu kapok dan berjanji tak akan mengulanginya lagi. 

Suasana di rumah mereka memang selalu panas, sangat wajar jika mereka ingin ketenangan. Sidang perceraian orang tuanya tak dapat dicegah lagi dan mereka sudah cukup dewasa untuk diperebutkan. Mereka bisa menentukan bersama siapa mereka akan tinggal. Seminggu yang lalu mereka memutuskan tinggal di sini, mereka bilang hanya untuk sementara sampai sidang perceraian orang tuanya diputuskan.

Paman adalah sosok yang ku kagumi dan juga ku segani. Darinya aku belajar sedikit ilmu bela diri. Ia senang belajar, belajar apapun. Menurutnya ilmu tidak berat dibawa. Yang berat itu kalau sampai ilmu tak diamalkan. Katanya belajar bukan sekedar mendapatkan ilmu yang kita dapat dan kita pahami tapi yang bisa kita bagi pada orang lain.

Biasanya aku di bonceng paman naik motor Ayah. Kali ini kami naik angkot yang ia kemudikan sendiri. Sejak kedatangan dua sepupuku paman mengantar kami dengan kendaraan yang dia pinjam dari temannya. Koneksinya banyak, dari gepeng(gelandangan dan pengemis), preman pasar sampai pejabat. Di jalan ia mengambil penumpang yang mencegatnya di jalan. Sambil menyelam minum air. Uangnya biasanya dia bagi dua dengan yang punya angkot.

Aku turun lebih dulu karena sekolahku lebih dekat,tapi sekolah Kak Fahi juga tidak terlalu jauh dari sekolahku.

"Ingat jangan dulu pulang sebelum paman jemput, Fahi sama Raka tunggu di sekolah Sabil aja biar paman jemputnya sekalian oke!" Katanya mewanti-wanti.

Kami diperlakukannya seperti balita yang tak tahu jalan pulang. Tapi itu memang peraturan dari Ayah dan paman hanya menjaga amanahnya saja.

"Oke! Assalamualaikum." Aku mencium punggung tangannya.

"Jangan berkelahi lagi! Kasihan ibumu tiap hari jahitin rok kamu yang robek! Gadis berjilbab rapi pergi ke sekolah, pulang sekolah acak-acakan gara-gara berkelahi. Anak peremuan kok gitu. Awas lo!" Seru paman.

"Iya...iya mulai bawel deh." Aku berlalu masuk gerbang sekolah.

Di depan kelas sudah ada Dinda yang kelihatannya punya berita baru.

"Ada jadwal?"

"Kok tahu?" Dinda heran dengan tebakannku.

Ini bukan jadwal mata pelajaran, ini jadwal kencan MK. Semua makhluk lembut di sekolah waktu itu sedang mengagumi sosok berinisial MK. Moreno Kertajaya yang terkenal pintar dalam mata pelajaran apaun, dan wajahnya yang tampan rupawan. Yang punya wajah sadar benar akan hal itu. Pacarnya banyak, ia bahkan punya jadwal kencan sendiri.

Tak ada bedanya dengan siswi yang lain, akupun mengaguminya. Saat itu jujur ku akui rasa sukaku padanya sudah terlalu berlebihan, masa jahiliahku, masa lalu yang hari-harinya dipenuhi harapan tentangnya, malam memimpikannya, dalam setiap do'a ku sebut namanya karena pada kenyataannya aku tidak bisa berebut untuk dijadikan pacarnya. Pertama karena keluargaku memang tidak akan pernah mengizinkan aku untuk  pacaran. Kedua karena dia suka gadis pintar yang berambut panjang, rambut yang bisa dilihatnya tentu saja. Akupun sama punya rambut yang panjang di balik kerudungku. Apa harus aku bilang bahwa aku punya rambut panjang juga? Ah! Tetap saja tak bisa karena aku juga tak terlalu pintar. Aku tak terlihat dan tak akan pernah ia lihat.

Saat orang lain bebas mengakui atau mengungkapkan perasaannya, aku bungkam.

Di saat orang-orang memberikan perhatiannya, aku hanya memperhatikan.

Saat mereka mulai memberikan hadiah, aku tak bisa memberi apapun.

Aku tahu dia punya segalanya. Aku terus meminta pada Sang Pencipta yang telah menciptakan ia begitu baik rupa, apapun do'a yang ia panjatkan aku mohon kabulkan.

Rasanya aku hanya ingin mengaamiini apapun yang ia inginkan.

Ketika Reno punya jadwal kencan, aku dan Dinda punya cara tersendiri untuk menggagalkannya, kalaupun sampai terjadi kencan kami akan melakukan  apapun untuk mengganggunya. Pertama kali ku lakukan karena ada sedikit rasa cemburu hingga pada akhirnya itu jadi keseruan tersendiri dan target kami meluas kepada siapa saja orang yang sedang melakukan aksi pacaran di depan mata kami.  Jadi sekarang aku dan Dinda punya misi menggagalkan orang lain pacaran. Teruntuk Reno, ini yang bisa ku lakukan untuk melindungimu dari PATIH(PAcar TIdak Halal), sebutanku dan Dinda untuk pacar-pacar Reno. Sampai sekarang Reno belum tahu siapa orang yang suka menggangu kencannya itu.

💗💗💗

Sabtu sore sekarang Reno akan nonton dengan pacar barunya. Pacar yang belum Dinda dan aku tahu identitasnya. Aku meminta izin pada Ayah untuk pergi ke rumah Dinda, dan Ayah sedang berbaik hati hari ini. Ia mengizinkanku pergi  ditemani paman.

"Kemana sih?"tanya paman sambil mengendarai motor.

"Bioskop."

"Kamu gak bilang hal ini ke ayah kamu. Kamu bilangnya mau ke rumah Dinda, gak bilang mau ke bioskop."

"Emang mau sama Dinda ke bioskop. Kita janjian ketemu di sana. Udah cepetan!"

"Gak ah kita pulang, bilang ke Dinda acara batal!" Paman memutar arah.

"Ih udah janji sama Dinda juga. Masak dibatalin gitu aja kasihan dia nunggu."

"Yang janji siapa? Makanya kalau sekiranya gak bisa nepatin gak usah janji."

"Kan aku udah dapat izin dari ayah makanya aku janjian ketemuan di sana, putar balik plis! Kalau tau bisa nepatin tapi digagalin sama orang yang dosa siapa?"

Paman Akbar tak menggubrisku.

"Dinda di sana sendirian, papanya cuma nganterin gak nemenin dia. Kalau ada apa-apa di sana gimana. Lagian kita cuma mau ketemu temen."

Paman menghentikan motornya di pingir jalan.

"Kamu anak sekolahan yang banyak urusan ya! jangan ngurusin yang lain dulu, urus PR kamu, pelajaran kamu! Ayahmu bukan orang kaya yang bisa dapat uang dengan mudah. Ia kerja keras banting tulang buat sekolah kamu. Tapi di sekolah kamu buat keributan, berkelahi dan ngurusin hal yang gak penting."

"Bila gak berkelahi di sekolah Bila tapi di sekolah Raka karena waktu itu Bila cuma bela diri kok sama juga belain saudara dari...."

"Sama saja. Sekarang kamu mulai berbohong untuk urusan yang tidak penting."

"Aku gak bohong."

"Seandainya ayahmu tahu kemana tujuan kamu dia gak akan izinkan. Makanya kamu gak sebut mau ke bioskop, kamu gak jujur sama ayah kamu. Tidak berterus terang sama aja boong Neng."

"Iya aku salah. Bila minta maaf. Ya udah kita pulang tapi kita tetap ke sana. Seenggaknya sampai papa Dinda jemput dia."

Di perjalanan menuju bioskop tiba-tiba ada motor yang menyalip motor kami. Motor yang ku kenali. Motor Moreno. Ia membonceng seorang gadis yang memakai scarf  warna maroon.

💗💗💗

TBC












TasabilaWhere stories live. Discover now