part 12

8K 411 3
                                    

Suara gaduh itu membuat Bila segera berlari ke sisi luar kamarnya. Paman sedang marah, begitu besar seperti halnya lubang di kaca kamar Bila yang membuat ia bisa dengan jelas melihat kedua saudaranya sedang beradu argumen, tentang arti saudara, batasan privasi, kejujuran, dan hal yang membuatnya tercengang.

"Paman melihatmu Fahi, kamu tidak pulang ke rumah malam minggu kemarin. Mau jadi apa kamu berani membohongi orang tua?! Tidur dimana kamu?"

Sesaat kemudian Anwar dan Aida yang tak lain adalah orang tua Bila masuk ke dalam kamar.

"Akbar sabar! Apa yang kamu lakukan?"

"Dia berani bohong, Bang. Kita suruh pulang ke rumah orang tuanya saja kalau dia gak bisa nurut. Kamu bisa berbuat semaumu di istana kebanggaan orang tuamu."

"Jaga sikap kamu!" Telunjuk Akbar yang mengarah pada Fahira dipelintir Anwar yang membuatnya mengaduh kesakitan.

"Orang tuanya gak pernah menganggap Abang. Sekarang dia bahkan tidak bisa menghormati dirinya sendiri dengan bermalam di rumah seorang pria. Apa Akbar harus diam saja melihat semua ini Bang?"

"Benar itu Fahi?" Tanya Anwar.

Fahi membisu. Aida duduk di samping Fahi, menegarkan dan memberinya pengertian.

"Ayah sama Akbar keluar saja dulu biar ibu yang bicara sama Fahi. Nada suaramu lho Akbar, dijaga Dik! Sudah sana keluar dulu! Biar kakak yang kasih pengertian."

Kedua laki-laki pencinta keluarga itu menuruti perintah wanita berhati lembut di hadapan mereka.

Raka menyaksikan dengan penuh harap pamannya tak akan melibatkannya dalam masalah ini. Ia tak bisa membayangkan. Sulit. Terlalu takut. Merasa pengecut karena tidak bisa membela kakak perempuannya.

Sore itu pertama kalinya Bila melihat pamannya begitu marah. Sangat disayangkan, sosok Fahi yang begitu Bila kagumi telah membuat citranya seketika luntur. Matanya kini memandang ke arah Raka yang masih mematung di posisi saat ia menasihatinya atau mungkin marah dalam sudut pandang Raka.

"Sepertinya kamu harus jelaskan sesuatu yang belum aku tahu!" Bila berkacak pinggang di depan Raka.

"Jangan ikut campur!"

"Aku peduli."

"Tetap saja itu bukan urusanmu, saat kamu masuk zona yang bukan urusan kamu tanpa orang lain minta itu namanya ikut campur."

"Lalu apa menurutmu arti peduli, saat semua kata peduli diartikan oleh orang lain sepertimu sebagai ikut campur? Aku gak butuh jawaban, toh kamu juga gak peduli sama kakak kandung kamu sendiri."

"Aku peduli tapi dia punya kehidupannya sendiri, dia juga punya hak untuk melakukan yang dia mau, aku gak mau ikut campur."

"Kehormatan wanita juga adalah tanggung jawab ayah, adik laki-laki, kakak laki-laki, saudara laki-laki yang lain yang sedarah ataupun saudara sesama muslim. Kamu siapa? Saat saudara yang lain butuh bantuan, apa harus diminta dulu baru dibantu. Apa kabar kata peka?"

Telak. Raka mengakui kekalahannnya. Bagaimana ia peduli sedangkan kakaknya sendiri hanya memanfaatkannya untuk kepentingannya sendiri. Terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Ia merasa kalau selama ini Bila si adik sepupu yang memang lebih peduli dibanding kakak kandungnya sendiri. Ayah Bila yang selalu hadir di sekolah saat ia butuhkan. Dan Akbar, pamannya yang selalu berkobar dan siap pasang badan saat dia disakiti orang.

💗💗💗

Bila terbangun dari tidurnya. Ia meraba ke samping kirinya namun tak ada sosok Fahi di sana. Bila menyalakan lampu, waktu menunjukkan pukul 01.00 WIB. Ia mencari Fahi di tiap sudut rumahnya namun tak ada.

Fahi merenung di teras rumah. Ia tak mau pulang ke rumah orang tuanya tapi malu jika tetep tinggal di rumah pamannya. Semua penghuni rumah sudah tahu ia menginap di rumah seorang laki-laki yang bukan muhrimnya dan tak pantas dilihat dari sisi atau segi manapun.

"Di sini rupanya." Bila akhirnya menemukan Fahi sedang bertopang dagu di meja terasnya, ia duduk di samping Fahi. Akhir-akhir ini mereka memang jarang mengobrol.

"Hmm."

"Jadi udah berapa lama kenal Reno?" Bila to the point.

"Kamu sudah tahu hubunganku sama Reno?"

"Sekarang jadi jelas."

"Sudah setahun lebih, saat kita berdua sama-sama newakili sekolah ikut olimpiade fisika kelas XI."

"Menurut Kakak dia baik?"

"Iya dong."

"Dia pintar, ganteng, dia disukai banyak orang yang membuat dia banyak juga mempermainkan cewek di sekolah. Kakak tahu itu?"

"Menurutku kamu cemburu. Iya kan?"

Pernyataan itu membuat Bila mengernyitkan dahinya. Apa yang Fahi tahu tentang perasaannya?

"Enggak," sanggah Bila.

"Iya. Maaf kakak gak sengaja baca tulisan kamu waktu kamu tertidur pulas di meja belajar dulu, bukunya terbuka, sepertinya diarymu dipenuhi nama Reno."

Mendengar itu membuat Bila ingin marah, how dare you are! tapi segera ia redam.

"Aaarrrgh!" Puncak ketidaksukaannya terhadap Fahi yang telah melanggar privasinya ia tumpahkan dengan berteriak. Pembicaraan singkat itu sudah tidak asyik lagi menurutnya. Bila masuk rumah meninggalkan kakaknya sendirian.

Ia pergi ke mushola, sebuah ruangan di belakang rumah yang sengaja digunakan untuk beribadah. Bila berwudlu di samping bangunan tersebut. Ia melakukan shalat tahajud dua rakaat diakhiri do'a dengan segenap hati. Selesai itu dia lanjutkan shalat istikharah. Ia ingin ketetapan hati. Gadis yang masih belajar di kelas X itu meminta Reno dalam do'anya. Terlalu dini, memang. Tapi pada siapa lagi Bila meminta selain pada Dzat yang telah menciptakan Reno begitu indahnya. Saat tangan tak dapat melambai untuk sekedar mengatakan hai dan angan tak dapat menggapai, hanya sebaris do'a yang rutin ia panjatkan agar sampai pada yang dicita-citakan.

💗💗💗












TasabilaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz