21

3.2K 371 145
                                    

Sore hari sabtu, menandakan akhir dari sabtu pagi dan akan berganti menjadi hari minggu. Matahari bergadrasi di ufuk barat, menimbulkan bayang yang doyong ke timur. Goong yo sedang duduk bersantai di atas kursi taman belakang rumah, hanya di batasi kayu besi setinggi paha orang dewasa. Dua putra kecilnya sedang berkejaran di bawah pohon Ek yang berdaun hijau. Musim semi datang menggantikan musim dingin.

Goong yo tidak terlalu khawatir, jika dua anaknya tidak sengaja jatuh. Taman ini sudah aman dengan lantai rerumputan hijau yang terawat, jauh dari pasir dan kerikil tajam. Dua tawa anaknya membahana, dengan si bungsu terkejar tidak mau menyerah. Tiupan angin mendukung suasana ceria mereka.

Tapi kemudian suara tangisan terdengar, Goong yo segera beranjak dari tempatnya ingin memastikan bahwa dua putranya baik-baik saja. Dia menghampiri si bungsu yang terisak duduk menutup dua matanya dengan tangan. Bibirnya mercau tidak jelas, mengadu pada sang ayah atas kesalahan kakaknya.

"Hyung nakal! Huhuhu huks... Huks... Huks"

Adunya pada Goong yo, sekejap pria itu merengkuh anaknya. Mengusap pelan punggungnya, dilain sisi dia mencari si tertua lewat ekor matanya. Entah di mana anak itu bersembunyi, merasa tangis mereda Goong yo mengusap lelehan air mata yang tersisa, "Sudah ya, Jungkook jangan menangis lagi. Nanti peri gigi tidak mau datang loh. "

Kemudian bocah itu mengerjap, mengusap ingusnya. Dia teringat sosok peri itu dan gigi depan yang tanggal, lalu tersenyum menunjukkan gigi depannya yang bolong. "Jungkook tidak menangis lagi Appa. " katanya mantap, kemudian berlari lagi mencari keberadaan kakaknya.

Sedari tadi kehadirannya dipertanyakan, hingga Goong yo berhenti pada sepasang sepatu biru tua di balik kursi yang tadi diduduki. Benar saja, anaknya yang lebih tua berdiam memeluk robot Bumbble bee, robot kuning bertransformasi menjadi mobil. Dan sekarang benda itu sudah tak berdaya dengan kaki kiri patah. Goong yo mencoba meraih lengan anaknya, tapi sang anak beringsut menjauh.

"Maaf, Sehun bersalah. Tapi Sehun tidak sengaja, Appa jangan pukul Sehun lagi, " ujarnya lirih, menunduk takut menatap ayahnya yang mungkin saja akan memberinya pelajaran seperti kemarin-kemarin saat Jungkook menangis.

Tidak satu pun orang tua berniat menyiksa pada anaknya, begitu pula dengan apa yang Goong yo rasakan. Maksud hatinya memberi pelajaran, agar lebih baik dan tidak mengulangi kesalahan. Tapi bagi anak kecil itu sungguh menyeramkan, menakutkan, dan menyedihkan. Sekalipun hanya dengan pandangan mata, anak kecil adalah makhluk paling perasa.

"Appa tidak marah, karena Sehun sudah berkata jujur. " Sehun mendongak, menatap wajah ayahnya dengan binar masih tidak percaya. Sebab berulang kali dia berkata jujur, tapi ayah tetap menghukumnya, seperti kemarin. "Appa tidak bohong, " lanjut Goong yo meyakinkan.

"Benarkah? " Goong yo tersenyum pada putra sepuluh tahunnya, dan meraih lengan yang sudah menjulur lalu digenggamnya. Menuntunnya pada si bungsu yang sedang berlarian mengitari pohon.

"Jungkookie, maafkan hyung ya? " Jungkook berhenti, menjabat tangan kakaknya sambil berlompatan lalu tersenyum senang dan berkata, "Tobotna buat hyung sajah. " dan lanjut berlari.

"Gomawo Kookie. "

Goong yo lega, dua putranya kembali damai. Tapi Sehun memilih duduk bersampingan dengan ayahnya, melipir dekat dengan pangkuan sang ayah.

"Tidak berlarian lagi? " Sehun menggeleng, memilih di pangkuan ayahnya. "Kenapa, ada yang sakit ya? "

"Tidak. "

"Baiklah. " Goong yo merapatkan pelukannya pada Sehun, yang berada dalam pangkuan. Menghirup aroma melon citrus dari rambut coklat gelap putranya, sangat segar.

souls (end) Where stories live. Discover now