16

2.9K 345 38
                                    

Semua kembali seperti semula, liburan musim dingin telah berakhir dan tahun telah berganti namun salju masih menemani. Sehun menyampirkan tas ranselnya pada pundak lalu bergegas untuk sarapan pagi, musim dingin sungguh menyebalkan karena harus mengenakan pakaian berlapis.

Ji hyun tersenyum mendapati putra tengahnya mengecup pipi kanannya, seperti kebiasaan anak itu untuk mengucapkan selamat pagi. Menu hari ini adalah sup iga sapi dan nasi, cukup membuat orang berliur hanya dengan mencium aromanya.

"Sudah meminum obat Hun? " Ji hyun bertanya sembari meletakkan alat makan terakhir di atas meja.

"Ya, aku tidak akan lupa. " Sehun tersenyum dan membuat ibunya juga ikut tersenyum. Senyum Itu menghangatkan hati, dia anak laki-laki yang seharusnya tidak pantas memiliki kekurangan.

Bagaimanapun juga tak ada satu yang bisa menyentuh naskah skenario Tuhan, sudah ditetapkan tidak bisa dirubah. Menyenangkan atau tidak hidup terus berjalan, tidak peduli itu akan mengikis segalanya.

"Tetaplah tersenyum, apapun situasinya. Tersenyumlah untuk Eomma, berjanjilah. "

"Aku tidak pernah mengingkari janji pada Eomma. "

Walau bagaimanapun juga hati wanita itu sungguh akan hancur, putranya hidup seperti itu dalam kurun waktu yang lama, sangat lama. Putranya yang manis harus tetap berada di rumah tanpa bisa merasakan bagaimana rasanya bermain lumpur di bawah hujan. Anak itu telah mengalami segalanya, merasakan yang tidak seharusnya ia rasakan. Sebagai seorang ibu ia sangat ingin memberi pelangi di tengah lara buah hatinya.

Nampaknya itu seperti hal yang sangat mustahil, Ji hyun merasa dirinya gagal membuat Sehun hidup seperti dulu. Dia tidak pernah menyalahkan anak bungsunya, sebab semua anak adalah anugerah titipan Tuhan. Ada yang harus dibenahi disini, suaminya.

Makanan hampir tandas di atas meja, ketiga anaknya hendak beranjak. Sungguh lamunan panjang menjenuhkan, kecupan pertama ia berikan pada anak sulungnya. Dia bersyukur karena putrinya itu lebih lama meluangkan waktunya di rumah.

Kemudian kecupan dalam untuk putranya yang rupawan, Sehun dengan segala rahasianya. Tetap membuat ibunya sehangat matahari. Yang terakhir pelukan untuk putra bungsunya, si bungsu yang belum memahami keadaan.

"Baiklah, sampai jumpa di rumah. " Ji hyun melambaikan tangannya, dan kemudian ia menggernyit karena melihat Sehun lebih memilih pergi bersama kakaknya. Sehun yang peka keadaan, berbalik dan tersenyum pada ibunya yang masih berdiri di depan pintu teras rumah.

"Gwenchana Eomma, aku sedang ingin pergi diantar Noona saja. " setelahnya dia melengsak masuk dalam mobil.

Ji hyun kembali melambaikan tangannya, melihat dua mobil itu telah pergi ia pun masuk kembali. Benaknya berbicara, ada hal yang mengganjal diantara dua putranya. Sehun seperti menghindari adiknya, dia pikir itu adalah sebuah candaan. Namun ini berlanjut hingga hampir lebih dari satu bulan, bukan sesuatu yang wajar.

=SOUL=

Sehun mengakhiri lambaian tangannya pada sang kakak, gedung sekolahnya hampir tenggelam oleh salju. Kemudian ia melangkah tanpa peduli pada Jungkook yang sedari tadi memanggil namanya.

Bukan keinginannya untuk mengabaikan adiknya, tapi bagian dari hatinya yang terdalam menolak untuk tetap berbuat hangat. Perasaannya lebih mendominasi, sehingga otaknya berjalan sesuai kehendak hatinya. Tidak apa, lagi pula ini mungkin hal terbaik selain membenci.

Selanjutnya ia hanya duduk di bangku miliknya dan mengecek kembali pekerjaan rumah yang mungkin saja korban dari kekeliruannya.

souls (end) Where stories live. Discover now