10 - Gasta Diserang

Start from the beginning
                                    

"Oh ya? Marah gimana?"

"Ya nggak mau ngomong ama aku. Padahal udah aku baikin dia, ramahin dia. Eh, aku dicuekin. Aku juga minta maaf ke dia. Tanganku malah disingkirin Kak." gerutu Gasta.

Feliz menghela napas. "Ya udah. Biarin aja. Yang penting kamu udah minta maaf. Lagian ngapain sih kemaren pake bawa tikus segala?"

Gasta cengengesan. "Iseng Kak, biar kayak Stargirl." Stargirl adalah karakter utama dalam novel yang berjudul sama, yang punya peliharaan seekor tikus.

"Itu kan cuma di cerita, ngapain dicontoh." timpal Feliz geli.

Gasta ketawa lagi. Sudahlah, sesungguhnya Gasta memang anak laki-laki dengan jiwa yang penuh keceriaan.

"Besok jangan nyerah. Baikin lagi dia."

"Siap Kak."

***

Pulang sekolah kali itu, hati Gasta sedikit kacau karena lagi-lagi Danes masih menunjukkan sikap permusuhan padanya. Dia juga harus pulang naik angkot lagi karena Feliz ada acara dengan guru-guru lain. Dan tentu, Gasta berharap Aimee juga naik angkot sama sepertinya. Jadi, sebelum Aimee yang mengajak, Gasta berinisiatif bertanya lebih dulu.

"Mee, Bundamu jemput ga?"

"Iya Gas. Ada apa emangnya?"

Jawaban yang sungguh sangat mengecewakan.

"Hehe. Nggak apa. Nyari temen pulang bareng." sahut Gasta.

"Kalo temen bareng naik angkotnya mah banyak. Sammy, Dito, Kafka, Alvian kan juga naik angkot."

"Oh iya ya." sahut Gasta. Tapi aku maunya bareng kamu, Mee, lanjutnya. Tentu saja dalam hati.

"Ya udah. Aku duluan ya Gas!" pamit Aimee. Gasta melambaikan tangan. Di koridor, Gasta hendak mampir ke toilet sebentar. Sekalian barangkali bertemu teman yang bisa menemaninya naik angkot. Namun, langkahnya terhenti saat lengannya ditahan oleh Uzi, si berandal 8H, di depan pintu toilet.

"Buru-buru amet, Gas. Titit lo bocor ya?" ejeknya. Gasta memang mengenal Uzi. Dulu Uzi sempat ikut basket, lalu keluar. Namun, untuk ukuran teman yang sekadar pernah kenal, ucapan Uzi tadi tidak bisa dikategorikan sebagai lelucon.

Gasta tersenyum kecut. "Apaan sih."

Uzi menahan lengannya. "Zi, gue mo ke toilet." desis Gasta. Uzi hanya menatapnya tajam dengan senyuman pedas. Uzi ini termasuk tampan, good-looking karena putihnya, tapi reputasinya sudah sangat buruk di sekolah akibat keseringan berbuat onar.

Sedetik kemudian, muncul Fais dan Alam dari dalam toilet. Gasta tidak kaget. Namun dia menyentakkan cengkraman tangan Uzi pada lengannya. "Minggir ah. Gue mau masuk." ujar Gasta lagi.

Tanpa banyak bicara, Fais menarik kerah kemeja Gasta dan menyeretnya ke dalam toilet. Sementara Alam membekap mulut Gasta yang mulai berteriak-teriak serta memegangi kedua tangan Gasta dengan satu tangan. Gasta lebih tinggi dari mereka bertiga, namun tenaga mereka bertiga jelas lebih besar dari Gasta. Begitulah kelakuan berandal-berandal sekolah sehari-hari.

"Apa-apaan sih!" bentak Gasta di dalam kamar mandi. Uzi menutup pintu dan menguncinya. "Mau kalian tuh apa? Hah?" teriaknya lagi. Alam, Uzi, dan Fais saling pandang. Didorongnya badan Gasta ke tembok.

"Dengerin ya, kancut kadal." olok Uzi. "Ini pelajaran buat cowok sok keren macam lo!"

Gasta terperanjat. Dia hendak melawan, namun tamparan keras dari Alam lebih dulu menyerangnya. Disusul tonjokan dan tendangan bertubi-tubi dari mereka bertiga.

"Kalo lo gak mau disakitin lagi kaya gini, jangan nyakitin temen kita!" hardik Alam. Gasta meringis kesakitan. Dia panik bukan karena takut pada mereka bertiga, namun karena bingung nanti mau bilang apa ke kakaknya. Sudah jelas ini masalah Danes. Gasta tahu betul, Danes anggota kelompok mereka. Ini pasti suruhan Danes.

Gasta masih terduduk di lantai, tanpa perlawanan. Karena dia tahu, semakin dia melawan, semakin hancurlah tubuhnya. Maka dari itu dia hanya diam sambil memegangi perutnya yang nyeri karena ditendang Uzi tadi.

"Heh." bentak Uzi sambil menginjak dahi Gasta yang tersandar di tembok - ya, dahi! Memang kurang ajar betul mereka ini - "Gue sisain tulang-tulang lo buat gue hajar lagi ntar, kalo lo lapor ke kakak lo ato ke siapapun." ujarnya berbisik pada Gasta. "Jangan mentang-mentang kakak lo guru, lo bakal bisa seenaknya bertingkah di sekolah ini! Paham ga lo?"

Gasta berusaha bangkit, namun Uzi menggagalkannya dengan tendangan di kepalanya. Hidung Gasta berdarah, begitu juga dengan ujung bibirnya. Gasta kehilangan kekuatan sama sekali. Sekujur tubuhnya nyeri luar biasa, sehingga dia diam saja saat ketiga bajingan kecil itu meninggalkannya terkapar di toilet siswa laki-laki.

Gasta geram, menangis di dalam hati. Setengah mati dia ingin menghajar Danes habis-habisan saat itu. "Brengsek!!!" pekiknya keras. Namun toilet saat itu sudah sepi. Kelas Gasta adalah kelas terakhir yang meninggalkan sekolah karena ada pelajaran tambahan. Itu berarti, geng Danes tadi rela menunggu hingga bel kelas Gasta berbunyi. Seharusnya mereka sudah pulang sejak dua jam lalu.

Sekarang yang dipikirkan Gasta adalah bagaimana caranya menyembunyikan sejumlah luka yang dia dapat akibat dihajar habis-habisan oleh begundal-begundal itu. Setelah beberapa menit memulihkan tenaga, Gasta bangun. Dibersihkannya sisa darah yang ada di wajahnya. Lalu, secepat kilat dia meninggalkan sekolah dan langsung menuju toko serba ada di samping sekolah untuk membeli plester. Luka di wajah sudah beres, akhirnya Gasta pergi menunggu angkot.

Kejadian pemukulan tersebut terjadi kurang dari dua menit, namun sakitnya tak kunjung hilang. Dendam Gasta membara pada Danes. Menurutnya, Danes terlalu pengecut sehingga menggunakan cara kampungan ini untuk membalasnya. Di dalam angkot, Gasta mencari alasan yang kuat untuk dipaparkan pada kakaknya jika dia menanyakan hal ini.

Bukannya takut pada Uzi, Alam, dan Fais, tapi Gasta tidak ingin dicap manja dan tukang lapor oleh mereka bertiga. Cukup Danes saja yang cemen, dirinya jangan. Gasta tidak akan melaporkan kejadian ini pada kakaknya, apalagi pada pihak sekolah. Karena Gasta ingin menyelesaikan masalah ini dengan cara laki-laki dan bertanggung jawab. Lagipula, tiga berandal sekolah itu percuma saja jika dilaporkan, mengingat mereka sudah kebal dihukum. Sudah terlalu biasa bagi mereka, dan sekolah pasti juga sudah bosan mengurusi mereka, saking seringnya mereka berulah.

Kecelakaan. Gitu aja. Bilang aja diserempet motor, batin Gasta, mempersiapkan mental untuk menghadapi kakaknya nanti.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now