Tiga

29 8 0
                                    

Malam ini terasa sunyi. Semua orang sudah terlelap.

Kurebahkan tubuh di ranjang dan kusandarkan kaki di tembok. Pikiranku melayang mengingat pria tampan bernama Bayu Aji yang kutemui hari ini. Mendadak jantungku bergetar kembali dan sekejap tubuhku terasa hangat. Benar kata Jessica. Saat aku berpisah tadi dengan Bayu, ada rasa pilu menyusup di hati.

Perasaanku galau sekali. Belum pernah aku merasakan rasa rindu yang menghajar sehebat ini. Di usiaku yang sudah menginjak empat puluh dua tahun, aku tidak pernah merasakan sensasi jatuh cinta. Teman-temanku menjuluki aku frigid. Tidak ada laki-laki yang membuatku tertarik. Aku hanya senang tenggelam dalam pekerjaan dan meditasi. Aku bahkan memilih tidak menikah jika tidak dipertemukan dengan laki-laki yang benar-benar bisa menggetarkan sel-sel tubuhku.

Namun Bayu berbeda.... Seluruh paradigmaku seperti luruh.

Kulirik jam dinding. Setengah sepuluh malam.

Untuk menenangkan diri, aku melakukan self-healing selama beberapa menit, lalu menjalankan sholat malam. Karena belum mengantuk, aku menyempatkan diri untuk bermeditasi.

Dalam meditasi, aku melihat sosok wanita cantik berperawakan langsing sedang berlatih pedang bersama seorang pria muda tampan berpostur menjulang dan berdada bidang. Latar belakangnya adalah sebuah taman yang sangat indah. Keduanya berpakaian serba putih seperti kostum para pendekar. Pedang yang disematkan di punggungnya sangat besar, tidak seperti pedang biasa. Diameternya lebih kurang 10 cm. Melihat pedangnya, tidak terbayangkan betapa beratnya.

Sesosok lelaki tua berambut putih panjang, berbadan tegap, dan sedikit keriput, duduk di atas batu ceper, tepat di bawah sebuah pohon besar. Kelihatannya, dia seorang guru yang sedang menyaksikan murid-muridnya berlatih.

Lelaki tua itu berteriak tegas, "Kaisar, hati-hati saat mengayunkan pedangmu pada Permaisuri. Beliau kurang sehat hari ini...."

Kaisar mengangguk sambil tersenyum penuh wibawa.

Mulailah mereka mengangkat pedang, lalu mengayunkannya dengan lihai dan elegan. Tubrukan pedang terdengar sangat nyaring di telinga. Tring.... Tring.... Tring.... Benturannya mengeluarkan cahaya merah, biru, hijau, kuning, dan sesekali kilatan putih. Cahaya itu berlompatan seperti seekor naga yang sedang meliuk-liukkan badannya di udara.

Keduanya sangat piawai memainkan pedangnya. Mirip seperti para satria di film-film kungfu. Mereka berputar, berlompatan mengikuti arah pedang mereka, bahkan sesekali terbang cukup tinggi dalam bertanding.

Di satu titik, sang Permaisuri tak mampu memanuver serangan pedang sang pria. Dia jatuh terjerembap. Cepat-cepat, sang Kaisar mengulurkan tangannya, lalu memeluk wanita muda itu dengan sangat erat.

Aku menajamkan hati untuk melihat wajah mereka dari dekat. Itu.... Bayu dan diriku!

Kok bisa?

Penglihatanku beralih kepada sosok guru mereka. Wajahnya tampak resah. Aku kembali berkonsentrasi untuk membaca apa yang sedang dirasakannya.

Jantungku serasa berpindah ke lutut. Beliau sudah menerawang ketika sang Permaisuri terbaring lemah di ranjangnya, melepas hayat akibat sakit yang dideritanya. Sepeninggalan kekasih hatinya, Kaisar didera kesedihan yang luar biasa. Mereka dipisahkan oleh maut! Namun sang guru ragu memberitahukan apa yang dilihat oleh mata bhatinnya kepada sang Kaisar dan Permaisuri, membuatnya dihajar rasa gundah gulana.

Aku tersadar dari meditasiku. Apa yang kulihat tadi sangatlah jelas. Mirip nonton film namun seperti menjawab rasa penasaranku!

Inikah sebabnya tubuhku dan Bayu terasa seperti teraliri listrik saat saling bertubrukan? Inikah mengapa matanya seperti menyimpan misteri namun familiar? Inikah mengapa ada bahagia menyusup ke dalam kalbu ketika bertemu dengannya lagi?

Celebrate The Wait  | ✓Where stories live. Discover now