Satu

202 14 8
                                    

KRIIIIIIING!

Argh! Bunyi beker meraung-raung. Sudah sering saya banting, tapi keukeuh nggak rusak-rusak.

Bukannya beranjak, saya malahan mempererat pelukan guling. Saya terlalu malas bergerak begitu mengingat bahwa hari ini: God help us, hari Senin!

Kenapa harus ada hari Senin!?

"Hari Senin, saatnya mengulangi kesuksesan!" Begitu seorang sahabat yang kelewat positif, Jo, selalu menyambut Senin. "Hari kita kembali mendapatkan uang." Matanya bersinar-sinar menyeramkan. "Senin itu selalu luar biasa."

Yeah, right! Senin itu membuat saya punya seribu alasan untuk enggan bangun, malas menghadapi hari. Hari Senin selalu ada rapat mingguan. Di rapat mingguan biasanya bos datang. Kalau bos datang, biasanya dia mengabsen stafnya untuk memberi masukan ide. Kalau ide mampet, siap-siap saja dipermalukan di depan yang lain. Yang lebih menyebalkan, di saat-saat begini, orang-orang cenderung memberi dukungan pada bos. Biasa, cari muka.

Itu baru awal hari. Membayangkan meja berantakan akibat pekerjaan hari Jumat yang tak selesai dan harus bertemu klien yang bikin bete saja sudah merusak mood saya hari ini. Buat saya, Senin itu: permulaan mimpi buruk!

Bunyi beker semakin mengganggu. Kamu jangan tanya kenapa saya masih bertahan pakai beker sebagai alarm untuk mengganggu tidur saya.

Ini peninggalan Oma dan sebagai pecinta seni, saya wajib menghargai produk vintage macam begitu.

Dengan mata masih setengah tertutup, saya meraih beker di atas meja. Ya ampun! Hampir jam tujuh!

Secepat kilat, saya meloncat dan melesat ke kamar mandi. Maklumlah, di apartemen studio macam begini, kamar mandinya hanya ada satu—di luar kamar! Jangan sampai Dika duluan masuk....

"Pagi, Sayang! Buru-buru amat. Orange juice?" Dika mengangkat alis sambil berdiri memegangi jeruk. Perhatiannya lalu beralih pada pemeras jeruk Alessi karya Philippe Starck di meja pantry.

Saya melengos. Saya bermusuhan dengan Dika, kalau dia sudah dekat-dekat si juicer warna perak setinggi 29 cm itu. Juicer itu saya yang beli karena bentuknya unik, ultra modern. Dilapis alumunium, kepala untuk memeras buah berbentuk seperti tetesan air berdiameter 14 cm, ditopang oleh tiga kaki yang ramping tipis. Ceritanya, Starck iseng coret- coret ketika sedang duduk santai di sebuah restoran di tepi pantai di Italia. Karena nggak ada kertas, dia menggambar di atas selembar tisu. Dan sketsa di atas tisu itu laku senilai lebih dari satu miliar rupiah! Buat saya, cerita ini inspiratif. Setuju?

Saya memang penggemar berat desainer produk kelahiran Paris itu. Menurut saya, desainnya cerdas, stylish, dan dinamis. Makanya, kalau ada uang lebih, saya hunting hasil karyanya.

Sepulang belanja pemeras jeruk ini, saya langsung memajang si juicer favorit. Dika baru selesai menonton film tentang alien di ruang duduk bersama dua sahabatnya, Ben dan Abi. Mereka menghampiri saya dipantry.

"Tebak, benda apa ini?" Ben menyambar si Alessi juicer.

Saya melotot, tapi Dika dan gengnya sudah asyik berdiskusi.

"Ini kayak tripod di film War of the World, ya! Hahaha...." Abi mengambilnya dari tangan Ben. "Ini roket ya, Ta? Maklum, gue anak sipil, bukan dekorator kondang sekelas lu, jadi gue nggak ngerti."

"Dilihat dari bahannya logam dan bentuknya kayak gitu.... Hmmm.... Gue yakin, ini robot laba-laba." Ben sok tahu.

"Bisa jadi ini vibrator." Abi tampak serius.

Lalu dia dan Ben terbahak-bahak seolah baru saja melontarkan guyonan paling seru sedunia.

Menyebalkan.

"Masih salah." Dika mengetuk kepala Abi, melirik ngeri ke arah saya— dia tahu kalau saya nggak suka benda-benda pajangan monumental di rumah ini dipegang-pegang oleh "tangan-tangan kotor" sahabatnya yang nggak menghargai seni! Dia mengambil sang juicer dari tangan Abi. "Gue yakin, ini barang rumah tangga."

"Alat pengocok adonan?" Abi memperhatikan lebih serius. "Atau semacam garpu masa depan? Hahaha. Ya..., ya...."

"Hmm.... Gue nyerah, Ta." Ben menatap saya dengan tatapan anak hilang. "Apaan sih ini?"

Saya membalasnya dengan memberikan lirikan paling bitchy. "Masih belum saatnya untuk membongkar identitasnya! Sini!" Saya merebut juicer dari tangan Dika. Kesal.

Sejak itu, saya sebal tiap kali melihat Dika berusaha menggunakan pemeras jeruk iconic itu. Dia ini memang jarang tersentuh melihat desain yang unik. Seringnya, dia malah mempertanyakan bentuknya. Tapi saya ingat. Starck sendiri bahkan bilang, his squeezer was, "not meant to squeeze lemons," but "to start conversations."

Saya segera menutup pintu kamar mandi, tanda tidak ingin diskusi pagi ini.

Celebrate The Wait  | ✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora