Tiga

62 13 4
                                    

"Jatuh cinta itu bikin kita jadi miskin wacana. Konsentrasi berpikir lari ke dia semua." Jo terkekeh.

Hari Sabtu pagi. Jadwal sarapan dengan Jo.

"Siapa yang jatuh cinta?" Saya pasang kuda-kuda defensif.

Jo berdeham. "Jadi kenapa lu gelisah amat dari tadi?"

Saya diam. Kembali melirik ke arah telepon genggam saya. 

"Selingkuhan belum kirim apa-apa hari ini?" Jo ikut-ikutan melirik iPhone saya di atas meja.

"Siapa yang selingkuh sih?" Saya mendelik. Makin lama, Jo makin mirip wartawan infotainment. Senang mengorek sesuatu yang bukan urusannya. "Lukas semakin aneh. Dia kirim bunga ke kantor." Toh saya tetap menjawab. "Sudah seminggu."

Jo tergelak. "How romantic... Beda dengan laki lu, ya."

"Tiap hari bunganya gue bawa pulang. Sayang dibiarkan layu. Lagipula, gue lebih sering kerja di luar kantor. Daripada nggak ada yang menikmati...."

"Dan Dika tetap nggak curiga?"

"Dika? Mana pernah dia memperhatikan perubahan dekorasi di dalam rumah, kecuali kalau gue memindahkan tumpukan bukunya."

"Jadi lu gagal membuat dia cemburu?" Jo mulai sadis.

Saya mengangkat bahu.

"Kalau dipikir-pikir, zaman bener-bener udah ganti, ya. Dulu cewek nguber-nguber harta cowok. Sekarang ini, cowok-cowok yang lebih muda dibiayain hidupnya sama cewek. Karena jodoh makin susah, cowok ngerepotin diembat juga."

"Maksud lu?"

"Yaaa..., dulu lu ngejar-ngejar Dika karena bapaknya kaya." Jo menggoda saya.

"Kurang ajaaaar!" Saya melotot.

Jo tergelak-gelak. "Nah, sekarang..., kebalikannya. Lukas yang lebih muda delapan tahun ngejar-ngejar lu. Walaupun, gue nggak bilang dia ngincer harta lu karena selama ini dia yang bayar makan, pake uang bosnya. But for sure, kalau dibiarin terus, nanti dia bakal ngerepotin hidup lu."

"Masa sih?"

"Gitu aja nanya. Ini contohnya kalau orang jatuh cinta. Logika nggak dipake."

Saya menghela napas.

"Jadi lu mengakui, lu jatuh cinta?" 

Saya menghela napas lagi.

Celebrate The Wait  | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang