Bulir 19 : The Same Feeling

150 21 7
                                    


"Hati-hati di jalan." Sia melambaikan tangan pada Holkay yang memberikan pandangan tajam lalu berlalu pergi menuju aula besar setelah berlari-lari di bawah hujan bersamanya dan Armenia. "Dia sudah kembali seperti biasanya, kan?" Sia tertawa kecil sembari menoleh pada Armenia yang sedari tadi diam.

Armenia malah memberikan pandangan sendunya. Dia tak cukup mampu menutupi keresahan hatinya memikirkan ucapan para tetua sukunya.

"Armenia?" panggil Sia.

"Ah, oh ya." Armenia tersentak kaget. Dia sampai melamun.

"Apa yang terjadi?" tanya Sia sembari menggosok rambutnya dengan handuk.

"Tidak. Hanya saja ..." Armenia memandangi Sia dan itu semakin membuatnya sulit untuk mengatakannya. "Kau dan Kak Holkay sudah lebih dekat."

"Be-benarkah?" Wajah Sia memerah. Rasanya malu sekali teringat bagaimana dia dengan berani memeluk pria itu, bahkan memaksa untuk menggenggam tangan Holkay sampai kepergok Armenia.

"Sia, kamu benar-benar menyukai Kak Holkay?" tanya Armenia.

Sia berhenti menggosok rambutnya. Dia tersenyum tipis ke arah Armenia yang masih saja memasang wajah sendu dan sedihnya.

"Aku tidak ingin mengakuinya, tapi sepertinya aku benar-benar menyukainya. Tapi, tenang saja aku tidak akan mengatakan bahwa aku menyukainya. Bukankah ini terlalu dini untuk mengatakannya? Dia bisa saja mengatakan aku adalah gadis gila. Lagipula dia baru saja kehilangan ayahnya. Aku hanya ingin berada di sampingnya dan memberinya dukungan. Besok kan dia harus melakukan ritual juga. Bisa bahaya kalau dia terpuruk dan kekuatan spiritualnya berkurang. Kemarin Nenek Marsala mengatakan padaku bahwa ritual itu membutuhkan banyak kekuatan spiritual dan Holkay harus dalam keadaan yang prima," ungkap Sia.

"Te-tua mengatakan padamu tentang ritualnya?" mata Armenia terbuka lebar, terkejut akan yang didengarnya.

"Ummm ..." Sia bergumam. "Hanya diberitahu kalau ritualnya membutuhkan banyak kekuatan spiritual."

"Lalu apa lagi? Apa yang harus kau lakukan di ritualnya?" tanya Armenia terdengar menggebu.

"Tidak tahu. Soal itu aku juga penasaran. Apa kau tahu, Armenia?" Sia balik bertanya dengan senyum lebarnya.

"Kau harus memberitahunya!"

"Ha?" Sia tersentak terkejut. "Apa maksudnya? Aku bertanya padamu Armenia." Sia bingung dengan sikap Armenia yang cenderung aneh. Tidak seperti Armenia biasanya. Matanya memancarkan rasa takut yang entah apa itu.

"Kau harus memberitahu Kak Holkay kalau kau menyukainya, Sia! Kau harus memberitahunya." Armenia mengulanginya lagi. Kalau tidak, kau akan mati dalam ritual besok dan Kak Holkay lah yang akan melakukannya. Armenia tak mampu memberitahunya.

Banyak tanda tanya bermunculan mengelilingi kepala Sia. Dia benar-benar dibuat bingung oleh sikap Armenia yang aneh.

"Hahaha." Akhirnya Sia hanya tertawa kecil.

"Sia?"

"Hal seperti itu tidak bisa dilakukan dengan terburu-buru. Tapi, terima kasih sudah menyemangati dan mendukungku. Masih banyak waktu, Armenia. Biarkan semua berjalan dengan seadanya. Yang lebih penting selesaikan ritualnya dan aku bisa pulang."

Kau tidak akan bisa pulang.

"Mama dan Papa pasti sudah sangat merindukanku."

Kau tidak akan bisa melihat mereka lagi.

DARKNESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang