Bulir 14 : Lost

121 25 4
                                    


Cahaya senter dari ponselnya cukup mampu menerangi jalanan setapak yang dilaluinya saat pertama kali datang ke perkampungan. Sia menghentikan acara larinya begitu merasa cukup jauh. Diusapnya keringat yang tak seberapa menghiasi wajahnya. Tadi memang terasa dingin, tapi saat berlari membuatnya gerah juga.

Sia mengedarkan pandang dengan takut-takut. Di mana-mana hanya kegelapan dan kesunyian. Sejauh ini dia belum bertemu dengan Stealth satupun. Dia benar-benar bersyukur karenanya. Itu artinya cincinnya benar-benar sakti. Sia hanya berharap dia dapat melalui ini sampai ke tujuannya.

Tapi, dilema sekarang berada di hadapannya. Dia dihadapkan pada jalan bercabang yang Sia lupa jalan mana yang dilaluinya kemarin. Matanya bergerak gelisah mencoba menerka jalan yang benar. Dia bahkan menghitung kancing baju untuk menentukannya. Tak berguna, Sia dilanda serangan panik sekarang.

"Apa yang harus kulakukan sekarang?" Sia menghela napas.

SREK. SREK.

"Hah?!" Sia terkejut karena terdengar suara dari arah belakangnya. Dia membalikkan badan dan mengarahkan senter ponselnya ke depannya. Tidak ada apapun. Cahaya dari senter ponselnya mulai tak fokus karena tangannya mulai gemetaran. Perasaannnya mulai tidak tenang.

Sia mengarahkan senter ponselnya ke arah atas. Mulutnya mengaga lebar melihat dua sinar merah mengarah padanya. Tubuhnya terasa kaku, tidak bisa beranjak pergi. Sinar merah itu semakin dekat padanya. Sia dapat melihat dengan jelas apa itu.

"Kyaaaaa!!!!"

***

Pagi-pagi sebelumnya suku Heilige disambut dengan mendungnya langit, kali ini bukan hanya mendung, langit begitu gelap dan angin bertiup lebih dingin. Holkay terbangun lebih dulu. Perasaannya langsung tidak nyaman. Tidak pernah dia merasa tidur terlalu lelap seperti tadi malam hingga membuatnya bangun tidak seperti biasanya. Dia bahkan bermimpi indah yang tak ada habisnya.

Dia melangkah keluar ruangannya dan mendapati Candles masih terbaring di kursi dekat pintu. Semua nampak tidak ada yang berubah kecuali palang pintu yang bersandar di dinding. Holkay menghampiri pintu. Semalam dia tidak lupa menguncinya dan siapa yang membukanya tanpa kembali memasang palang penguncinya. Dia membuka pintunya dan melihat kesunyian di luar. Belum terlihat satupun manusia yang beraktifitas pagi ini. Sungguh aneh. Ditambah dengan langit yang lebih mendung, seakan ini tidaklah pagi.

DEG.

Holkay membelalakkan mata menoleh ke arah lantai atas. Dia segera menutup kembali pintu depan. Dihampirinya Candles yang nampak tidur dengan nyaman sekali. Bahkan ada garis senyum di bibirnya.

"Bangun, bodoh!" Holkay menyentil kening Candles sekuat tenaga.

"Aw!" pekik Candles kesakitan. Dia langsung bangun dan membuka matanya. "Sakitnya," ujar Candles sembari mengelus-elus keningnya. Dia menoleh mencari siapa pelaku yang sudah memberi kesakitan pada keningnya dan tak mendapati seorang pun. Dia hanya melihat Holkay yang tengah terburu-buru menaiki tangga menuju kamar Sia.

Holkay membuka kamar Sia dengan kasar. Matanya terbelalak melihat ranjang yang kosong dan Armenia yang tertidur di tikar, terlihat nyenyak dan tidak ada tanda-tanda akan bangun seperti Candles tadi. Buru-buru dihampirinya Armenia dan mengguncang tubuhnya.

"Bangun, Armenia."

"Hoamb. Rasanya ngantuk sekali." Candle menyusul ke kamar Sia. Dia masih merasa mengantuk sekali.

"Armenia!" Holkay mengguncang-guncang tubuh Armenia yang tak lekas bangun.

"Apa yang terjadi?" Candles menghampiri Holkay. "Armenia kenapa?" tanyanya.

DARKNESSWhere stories live. Discover now